Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Membaca Ibu Kota dalam Buku "Menjejal Jakarta"

10 Februari 2019   16:40 Diperbarui: 10 Februari 2019   20:42 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku menjajal Jakarta/ dethazyo

Setelah sekian lama tak berkutat dengan liputan yang menelurkan reportase apik, karena dulunya pernah mengenyam pendidikan di bidang Jurnalistik dan sempat mencicipi dapur kerja salah satu media cetak di ibu kota. 

Rasanya kerinduan akan hal itu semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya diri menyelami kembali bagaimana menghadiri suatu acara, menelaah peristiwa, berjumpa narasumber dan sesekali menggali informasi dengan berselancar di dunia maya, sembari membolak-balik halaman buku yang senantiasa menjadi referensi tulisan.

Bahagianya, kerinduan tersebut semakin menjadi-jadi, apalagi setelah membaca sebuah buku berjudul "Menjajal Jakarta" karya dari Viriya Paramita. 

Dalam buku itu kiranya ada 25 tulisan reportase yang dibuat dari kurun waktu 2012 hingga 2015. Tema-tema popular mulai dari prasangka etnik, memaknai imlek, penggusuran, sejarah pasar senen, kecintaan terhadapat sepeda, fans garis keras JKT48, telolet 65 dan lain-lainnya.

Membahas segala hal yang berhubungan dengan peristiwa dan rutinitas di kota megapo(lutan) Jakarta sungguh menarik. Caranya bertutur khas wartawan dapat dikatakan cukup baik. 

Membaca karyanya seakan-akan kita ikut langsung ke dalam reportase yang dibuat. Kalau boleh mengambil pendapat Redakturnya pada waktu itu, Rusdi Mathari, ia mengungkap bahwa wartawan bekerja itu minimal harus melihat dan mendengar sendiri, atau kalau perlu ikut merasakan.

"Wartawan bukan gerombolan yang sekedar bertanya ini dan itu sembari menyorongkan mikropon atau alat perekam ke depan wajah sumber, lalu selebihnya saling mengutip dan mengarang cerita." Ungkap Rusdi.

Benar saja, itulah sebuah pelajaran penting yang dapat digali kala wartawan ingin menyajikan karya reportase yang tak hanya mampu menarik pembaca untuk membacanya, terlebih dapat membawa pembaca untuk dapat sejenak memasuki, sejenak meresapi, serta sejenak menjadi bagian tak terpisahakan dari reportase yang dibuat. Dan jiwa itu hadir dalam buku dengan 230 halaman.

Bagi diri pribadi, dari sehimpun reportase yang dihadirkan Jawir (sapaan akrab penulis). Reportase berjudul sama dengan buku yaitu "Menjajal Jakarta" ialah paling menarik hati (bukan berarti yang lainnya tak menarik ya). Dalam laporannya, Ia mengungkap kisah orang-orang yang mengais rejeki di Jakarta dan sering bahkan selalu memanfaatkan moda transfortasi publik, kususnya Transjakarta dalam beraktivitas.

Orang-orang yang sewaktu awal-awal berujar untuk bekerja saja harus menempuh jarak jauh dan melelahkan. Tetapi sewaktu mulai menginjak bulan-bulan berikutnya, mau tak mau, sikap "bodo amat" merasuki, dan fase menikmati-pun menjadi juara sebagai seni hidup di Ibu kota.

Di dalam reportase ini, Jawir benar-benar memberikan pandangan yang apik akan kondisi para pencari kerja di ibu kota. Tak lupa situasi ramainya orang-orang yang menumpang Transportasi publik turut dihadirkan dalam penggalan kalimat "Ada yang menyenderkan kepala sembari memejamkan mata, ada yang asyik berkutat dengan ponselnya, ada pula yang sibuk menyisir rambut basahnya."

Sesuatu yang jelas, pandangan itu adalah pandangan yang sering kali saya, penulis atau Anda pembaca saksikan setiap hari kala berjumpa realita menumpang transportasi publik yang ada. Bedanya, kita hanya menikmati ditataran pikiran, dan penulis meluapkannya dalam satu judul tulisan reportase utuh nan menarik.

Berhubung diri pribadi dan penulis sama-sama lahir dari Rahim pendidikan Jurnalistik, serta sama-sama pernah merasakan serunya berburu berita dan narasumber dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka dari segelumit kelebihan penulis di atas, tentu ada pula kekurangan yang terlihat oleh kacamata pribadi. Kekurangannya ialah sama seperti kebanyakkan wartawan yang ada, terlalu banyak mengutip keterangan dari narasumber, seakan semua obrolan harus diwartakan. Padahal, tentu tak harus begitu adanya.

Saya pun sepaham jika reportase yang baik ialah reportase yang harus melihat, merasakan, dan mendengarkan sendiri. Itu benar dan tentu tak ada keraguan sedikit-pun akan hal itu. Cuman, jika hanya menuangkan saja apa yang dilihat dan dengar tanpa adanya ekplorasi atau proses menggali lebih dalam dari tema, dapat dikatakan laporan reportase yang dihadirkan akan terasa kering dan kurang menggigit. Betapa tidak, seorang waktawan sudah seharusnya dapat mengakulturasi pengetahuannya dan menuangkan dalam satu kanvas utuh sebuah tulisan reportase.

Itu cuma untuk beberapa reportase loh, selebihnya sudah cukup baik. Senang rasanya bisa membaca karya yang senantiasa membuat saya sedikit bernostalgia akan aktivitas memburu berita. Terus berkarya dan terus semangat mendongeng tentang Ibu Kota, Viriya Paramita. Semangat!!!

Detail

Judul Buku : Menjejal Jakarta

Penulis : Viriya Paramita

Penerbit : EA Books

Tahun Terbit : Januari 2018 (Cetakan ke-2)

Jumlah Halaman : xvii + 230

signature
signature

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun