Mohon tunggu...
Desy Putri Ratnasari
Desy Putri Ratnasari Mohon Tunggu... Ilmuwan - Researcher

Research Assistant at Center for Bioethics & Medical Humanities FKKMK UGM.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kala Muslimah Reformis Membela Minoritas Gender

30 Juli 2021   13:34 Diperbarui: 1 Agustus 2021   08:29 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/photos/G1iYCeCW2EI

Manusia pada umumnya mencoba mengkualifikasikan dan mendiskualifikasikan diri mereka dengan menciptakan fragmentasi di antara sistem masyarakat termasuk persoalan seksualitas. Persoalan beradab tidak terlepas dari nilai, etika, dan moral sehingga persoalan-persoalan ini telah menjadi sesuatu yang spesial di antara perdebatan-perdebatan. Teknologi yang paling canggih sekalipun belum mampu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap kaum LGBT yang di luar sana mereka semakin mendapatkan perlakuan stigmatisasi maupun diskriminasi. Media-media di Indonesia juga jarang sekali memberi ruang kepada kelompok minoritas gender LGBT, jika pun ada, maka hampir dapat dipastikan bahwa berita-berita yang muncul bernada negatif atau ketika teman-teman LGBT menjadi korban tindakan kriminal. Pada tahun 2015, survey AJI Indonesia tentang pemberitaan LGBT di Indonesia menemukan bahwa media memberitakan LGBT dengan mengedepankan unsur sensasional dan judul yang intrik sehingga media masih dinilai mengaburkan antara orientasi gender dan identitas gender.

Ini kisah Febby, seorang mahasiswi muslim di Yogyakarta yang memiliki orientasi seksual yaitu menyukai sesama perempuan. Selama bertahun-tahun, Febby menyembunyikan orientasi seksualnya kepada keluarganya yang termasuk kalangan Muslim Muhammadiyah garis keras. Sejak ayahnya meninggal dunia dan hanya bersama ibundanya, Febby sampai saat ini masih belum berani mengakhiri kehidupan gandanya yang harus menjadi seorang heteroseksual. Febby mulai mengenali ada unsur yang 'berbeda' di dalam dirinya sejak dirinya masih kecil. Saat itu, dia suka sekali menggambar teman perempuannya, bergandengan tangan, merindukannya dan bahkan sampai ingin memilikinya. Febby paham betul bahwa menceritakan isi batinnya bahwa dia menyukai sesama perempuan otomatis membuka orientasi seksualnya pada keluarganya terlebih pada ibundanya sehingga akan berujung konflik dan dia mencoba sekeras mungkin untuk menyembunyikannya sampai saat ini.

Di kampus di mana saat dia menjadi mahasiswa tahun 2016 dan di mana saat itu pula, isu-isu LGBTQ nasional sedang digoreng-gorengnya. Febby merasa bahwa kampus akan menolak keberadaan dia, teman-teman kampusnya dan tentu agamanya. Selang beberapa tahun, kemudian dia menemukan cara untuk mengeksplorasi orientasi seksualnya di teman-teman komunitasnya di kampus yang dia anggap itu sebagai 'rumah'. Di kampus, Febby memberanikan diri untuk berkencan dan berpacaran dengan perempuan.

Febby mengatakan bahwa hubungannya dengan ibunya menjadi sangat menguras emosi dan yang membuat dia menjadi sangat trauma adalah ketika Febby akan diruqyah karena ibunya melihat ada perbedaan yang tidak biasa dari anaknya.

"Saat aku ketahuan sama Mama dan ancaman rukiyahnya itu menakutkan dan membuatku trauma."

Dalam kurun waktu hanya beberapa bulan setelah diancam ruqyah, Febby mengalami depresi dan dia menyadari bahwa yang dapat menolongnya adalah dirinya sendiri. Perempuan berusia 22 tahun ini bersama teman-temannya yang LGBTQ sekarang telah mendirikan komunitas LGBTQ yang dapat menjadi tempat aman dan nyaman untuk bertemu dan berdiskusi tanpa rasa takut akan diskriminasi dan setidaknya memiliki ruang untuk menyuarakan diri walaupun sebatas komunitas kecil.

 

"Aku bisa menjadi diriku dan dan aku bisa buka yang aku rasakan,terkait identitas seksualku, aku ingin membagikan perasaan itu juga ke orang lain."

Survei nasional "Tren Toleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia" sejak tahun 2016, nomor satu yang tidak disukai adalah LGBT dilanjut dengan kebencian terhadap komunis sedangkan pada tahun 2017 hal yang paling tidak disukai adalah komunis lalu disusul kelompok LGBT.

Di agama Islam, Kristen dan Yahudi, homoseksualitas adalah dosa. Ketika banyak kalangan agama mulai menerima homoseksualitas, umat Islam di negara-negara barat bertahan dengan pandangan ortodoks. Jika Islam memang tidak mengakui bahwa LGBT adalah bagian dari umatnya, maka menurutnya, lebih baik dia tidak perlu melakukan ritual-ritual ibadah seperti yang diajarkan oleh Islam.

"Aku aku bener-bener yakin dan sadar bahwa aku hanya tertarik dengan perempuan dan aku sudah menerima diriku seutuhnya, terlepas dari ibuku menolak aku, terlepas dari agama mau menolak aku, dan dosen kampus menolak aku, tapi aku sudah menerima diriku seperti ini."

Itulah sekelumit kisah Febby dalam bayang-bayang LGBT. Sudah tidak mengherankan jika kebencian terhadap eksistensi kaum LGBT sudah terkadung di kalangan orang-orang konservatif. Laku ritual ibadah menurut Febby akan sangat percuma dia lakukan karena menurutnya agamanya sudah tidak dapat menolongnya. Perjuangan, kata yang tepat untuk gadis muslim ini untuk terus mencari ketenangan dan kedamaian dalam beribadah. Febby merasa memulai meditasi di vihara adalah ibadah yang cocok untuknya hingga dia menemukan kembali eksistensi jiwanya.

"Aku merasa menemukan ruang spiritual yang nyaman, yang ramah dan menerimaku. Sejauh ini aku belum menolak Islam sebagai identitas agamaku dan aku sangat membuka ruang dan sedang membuka ruang untuk diriku belajar (kembali) tentang agamaku (Islam)."

Agama hadir untuk cinta. Sejatinya tidak ada yang mengetahui relasi spiritualitas manusia dengan Tuhannya yang termanifestasi dalam berbagai bentuk. Febby, adalah salah satu contoh bagaimana perjuangan dalam beragama seharusnya tidak dilihat hanya karena orientasi seksual atau identitas gendernya. Mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ritual ibadah harusnya menghadirkan rasa simpati dan empati kepada sesama makhluk ciptaan-Nya yang terwujud dalam setiap bentuk pertolongan kepada yang membutuhkan.

 

*Febby adalah nama samaran. Ia menceritakan kisahnya kepada penulis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun