"Aku aku bener-bener yakin dan sadar bahwa aku hanya tertarik dengan perempuan dan aku sudah menerima diriku seutuhnya, terlepas dari ibuku menolak aku, terlepas dari agama mau menolak aku, dan dosen kampus menolak aku, tapi aku sudah menerima diriku seperti ini."
Itulah sekelumit kisah Febby dalam bayang-bayang LGBT. Sudah tidak mengherankan jika kebencian terhadap eksistensi kaum LGBT sudah terkadung di kalangan orang-orang konservatif. Laku ritual ibadah menurut Febby akan sangat percuma dia lakukan karena menurutnya agamanya sudah tidak dapat menolongnya. Perjuangan, kata yang tepat untuk gadis muslim ini untuk terus mencari ketenangan dan kedamaian dalam beribadah. Febby merasa memulai meditasi di vihara adalah ibadah yang cocok untuknya hingga dia menemukan kembali eksistensi jiwanya.
"Aku merasa menemukan ruang spiritual yang nyaman, yang ramah dan menerimaku. Sejauh ini aku belum menolak Islam sebagai identitas agamaku dan aku sangat membuka ruang dan sedang membuka ruang untuk diriku belajar (kembali) tentang agamaku (Islam)."
Agama hadir untuk cinta. Sejatinya tidak ada yang mengetahui relasi spiritualitas manusia dengan Tuhannya yang termanifestasi dalam berbagai bentuk. Febby, adalah salah satu contoh bagaimana perjuangan dalam beragama seharusnya tidak dilihat hanya karena orientasi seksual atau identitas gendernya. Mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ritual ibadah harusnya menghadirkan rasa simpati dan empati kepada sesama makhluk ciptaan-Nya yang terwujud dalam setiap bentuk pertolongan kepada yang membutuhkan.
Â
*Febby adalah nama samaran. Ia menceritakan kisahnya kepada penulis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H