Ada 516 halaman buku tentang pak Pram yang dituturkan oleh kedua adik pengais bungsu dan bungsu beliau. Mereka semua pengarang, pernah belajar sastra rusia di Moskwa.Â
Memoar tentang pak Pram ini menemani perjalananku pulang-pergi dari kampus dan pulang pergi ke kediaman dosen pembimbing, menemani saat aku kuyup seusai memburu tanda tangan dosen dan menemani kantuk yang kutahan-tahan. Di tengah jalan, halaman-halaman kisah tentang pak Pram kadang menggeliat lagi di kepalaku. Layaknya pemutaran film dokumenter, acak, dan berkesan.
Pak Pram itu anak sulung dari sepuluh bersaudara, bapaknya seorang guru di sekolah Boedi Oetomo dan nasionalis muda PNI diera 1940-an. Pak Pram hidup di Blora sebelum bermukim di Jakarta, sebelum berkarir sebagai redaktur di Balai Pustaka.Â
Dari kaca mata adik-adiknya, pak Pram adalah pribadi yang keras dan disiplin tetapi lembut hatinya. Ia mengayomi dan menyekolahkan ketiga adiknya di Jakarta, mendidik adik-adiknya untuk belajar mengarang dan mengetik. Pak Pram selalu percaya bahwa menulis itu untuk kemanusiaan. Ia tetap menulis ditengah morat-maritnya perkara ekonomi dan gejolak politik diera orde baru.
Tunggu sebentar, ya. Aku mengantuk sekali. Mataku sudah tidak kuat terjaga. Aku ingin tidur di atas laptopku selama 30 menit.
***
Gawaiku berderit-derit di saku tas ransel, berulang kali. Entah notifikasi dari grup percakapan mana. Tapi cukup mengganggu tidur siangku yang sepintas. Lalu aku memutuskan untuk bangun dan membuka gawai. Persetan dengan rasa kantukku! Rupanya aku lupa jika tadi telah menanyakan kesediaan dosen pembimbing untuk bertemu hari ini. Namun nihil. Beliau tidak bisa ditemui hari ini, ada rapat katanya. Aku dan dosen pembimbing selalu berkejar-kejaran dengan waktu. O, demi masa! Satu demi satu masa harus aku lewati. Satu demi satu masa harus aku jemput keberkahannya. Satu demi satu masa harus aku hadapi, seperti menghadapi rasa kantukku saban hari dan detik ini.
Kantukku belum sepenuhnya reda, aku membasuh wajah di tempat wudhu kampus. Rasanya tanggung jika hanya membasuh wajah, maka aku sekalian berwudhu saja. Biar persetan-persetan di wajah dan kepalaku lenyap dan minggat. Sungguh belum berhasil. Dan aku memutuskan memesan espresso dan disusul long black americano. Dan rupanya, aku mengulang sejarah yang sama. Barista masih meragukan pilihanku pada espresso. Sudah dua barista yang meragukan kemampuanku menenggak kopi hitam. Barista dari dua kedai kopi modern yang berbeda. Apa benar, aku tidak menunjukkan ciri atau tipikal peminum kopi?
***
Peralihan kekuasaan orde lama dan orde baru adalah saat-saat pelik bagi pak Pram dan adik-adiknya. Mereka harus melalui hidup dari penjara ke penjara, menjadi tahanan politik selama bertahun-tahun. Pak Pram dituduh PKI karena menjadi bagian dari Lembaga Kebudayaan Rakyat atau LEKRA.Â
Sebagai seorang mantan tentara yang berkarir sebagai penulis, pak Pram sosok idealis yang menolak dikerangkeng dengan ideologi yang membatasi dirinya untuk merdeka berkarya, merdeka sebagai manusia. Beliau tidak ingin tunduk pada penjajahan dan menjadi kacung kekuasaan.Â
Sebelum dipenjarakan ke Pulau Buru, rumah pak Pram di Rawamangun dihancurkan, buku-bukunya dibakar. Bukan main, ada 20.000 koleksi buku-bukunya diberangus. Patah hati luar biasa bagi seorang penulis. Tahun-tahun berikutnya bahkan saat beliau dikembalikan ke Jakarta dan menjadi tahanan rumah, kemerdekaannya dalam berkarya tak lagi seperti dulu. Kejamnya politik orde baru membuat kehidupan karir pak Pram ringsek.
Tahun-tahun sebelum pak Pram berpulang, beliau lebih sering berkunjung ke kampung halamannya di Blora dan nyekar ke makam bapak beliau. Sepeninggal bapaknya karena menderita penyakit paru-paru pada tahun 1950, sebagai anak sulung pak Pram yang menjadi fondasi keluarga, pelan-pelan mengangkat sosial ekonomi adik-adiknya hingga mampu berkuliah ke Eropa. Pak Pram selalu berupaya memberikan yang terbaik untuk keberlangsungan hidup adik-adiknya, menuntun mereka hingga mampu berdiri di atas kaki sendiri dan cari makan sendiri.