Mohon tunggu...
Desy Marianda Arwinda
Desy Marianda Arwinda Mohon Tunggu... Freelancer - flight through writes

Hidup lebih hidup dengan menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berpencar

11 Agustus 2023   23:16 Diperbarui: 11 Agustus 2023   23:46 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencari, entah apa yang jemarinya cari di sela-sela jari manis. Bekas cincin titanium hitam. Melonggar-longgarkan cincin itu dari posisinya. Sudah tiga tahun dia menjalani usia dewasa, rasanya serupa menyicipi keripik olahan rumah yang bukan kepalang sulit untuk digigit apalagi dikunyah atau serupa dengan rasa jamu buatan mama yang sepat tapi menyehatkan tubuh. Mengapa usia dewasa separadoks itu? 

Perempuan usia 23 tahun itu mendengarkan 30 lagu tentang Jakarta. Ada perasaan asing ketika mendengarkan kesemua lagu itu. Ternyata, tak semua lagu harus kita dengarkan, tak semua lagu cocok dengan selera kita. Musik sesubjektif itu. Barangkali, perasaan manusia juga.

"Apakah kautahu? Kegagalan dimasa lalu tidak pernah benar-benar membuat kita berani. Kegagalan dimasa lalu membuat kita kian takut. Setidaknya takut mengulangi pola kegagalan yang serupa".

Ada jeda yang menggantung dan diisi tarikan napas yang berat setelah perempuan itu tiba-tiba bergumam. Keduanya memanjakan jeda itu.

Banyak yang tertahan, pertengkaran sudah tidak ada artinya lagi. Realita hidup jelas menggilas dua manusia itu.

"Bagiku, ini bukan kegagalan. Kita hanya kehabisan waktu. Atau, waktu tempuh kita berdua di jalan ini sudah cukup. Dan di perjalanan berikutnya, kita melanjutkan perjalanan masing-masing. Tak ada yang bersalah. Kita cuma tidak punya kuasa apapun untuk menyelamatkan kekacauan ini".

Perempuan itu tidak membuka suara seusai mendengarkan penuturan pilu dari laki-laki itu. Jeda menggantung lagi. Keduanya bahkan memandang ke arah yang berbeda, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Baik-baik, ya. Jaga diri. Jangan terlalu sering menyalahkan diri sendiri. Ada tidaknya aku di perjalananmu berikutnya, kamu harus tetap bertahan. Kuat. Aku selalu percaya padamu. Pada mimpi-mimpimu". Laki-laki itu memecah kesunyian.

Perempuan itu belum juga bersuara. Perempuan itu makin menyembunyikan pandangannya, mungkin juga air matanya. Makin nanar tatapannya, makin hilang pula sosok itu. Perempuan itu tak bisa menahan waktu, tak bisa menahan kepergian, dan tak bisa menahan takdir yang sedang bekerja. 

"Tidak semua cerita bisa berakhir bahagia, tidak semua cerita bisa berakhir bahagia, tidak semua cerita bisa berakhir bahagia.." Perempuan itu mengulang-ngulang kalimat itu lirih-lirih seperti mantra. Mantra penenang yang tragis.

Di sela cerita yang singkat ini, langkah-langkahnya lunglai, hatinya hilang entah ke mana. Turut pergikah bersamanya? Atau telah mati? Atau sedang sekarat? Lalu untuk apa semua ini dirangkai dari awal? Untuk apa fragmen-fragmen ini tercipta? Mengapa terasa seperti mimpi buruk? 

Jika memang ini benar-benar mimpi buruk, tolong bangunkan perempuan itu, Tuhan. Jika perjalanannya masihlah panjang, bangunkan perempuan itu segera. Berpencarlah hati, pikiran. Berpencarlah, malam ini bukan waktu yang baik untuk menyatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun