Nama : Desy Fitriana Kurniyanti
Nim : 222111112
Kelas : HES 7F
REVIEW JURNAL
Judul: Pelindungan Hukum atas Pelanggaran Hak Cipta pada Karya Seni yang dijadikan Karya Non Fungible Token (NFT) pada Era Ekonomi Digital Legal Protection for Copyright Infringement on Artworks used as Non-Fungible Token (NFT) Works in the Digital Economy Era.
Jurnal: Fundamental JUSTICEÂ
Volume dan Halaman:
Tahun: Volume 3, Nomor 1, Maret 2022 |ISSN : 2721-7671, Halaman 1 sampai 18.
Penulis: Dio Bintang Gidete, Muhammad Amirulloh dan Tasya Safiranita Ramli.
Reviewer: Desy Fitriana Kurniyanti
Tanggal Review: 12 Desember 2024Â
Tujuan Penelitian:Â
Penelitian ini bertujuan untuk memahami pelindungan hukum bagi pencipta terhadap karya seni dua dimensi dalam media digital, memperlancar kegiatan perkenomian serta untuk mengetahui tindakan hukum yang tepat bagi pencipta atas pelanggaran hak cipta di dalam media digital.Â
Metode Penelitian:Â
Metode penelitian yang digunakan penulis menggunakan metode penelitian normatif yaitu penelitian terhadap bahan pustaka serta dengan data sekunder melalui pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, sehingga pada penelitian ini akan ditinjau dan dianalisis regulasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan.Â
Hasil Penelitian:Â
Hasil penelitian dari jurnal ini menunjukkan:Â
A. Perlindungan Hukum atas Pelanggaran Hak Cipta pada Karya Seni yang dijadikan Karya Non Fungible Token (NFT) pada Era Ekonomi Digital.
Kegiatan ekonomi digital salah satunya adalah jual beli karya seni dua dimensi dalam ruang cyberspace. Kejahatan terhadap karya cipta pada saat ini terlebih dengan semakin canggihnya teknologi informasi maka peluang tersebut semakin besar. Seperti halnya kasus yang menimpa Kendra Ahimsa, dalam kasus ini seniman NFT Twisted Vacancy melakukan perbuatan pengambilan beberapa unsur ilustrasi karya seni milik Kendra Ahimsa kemudian digunakan untuk dijadikan karya seni NFT tanpa modifikasi sama sekali.Â
Perlindungan suatu karya seni NFT diberikan kepada pencipta atas suatu ciptaannya yakni berupa hak ekslusif atas karya seni tersebut yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Bentuk pengaturan hak moral diantaranya adalah yang tercantum dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 5 ayat (1) huruf e "Hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya." Kemudian dalam penjelasan Undang-Undang Hak Cipta Pasal 5 ayat (1) huruf e menyebutkan distorsi, mutilasi, dan modifikasi ciptaan merupakan:Â
a. Distorsi ciptaan merupakan perbuatan pemutarbalikan suatu fakta atau identitas Ciptaan.
b. Mutilasi ciptaan merupakan proses atau perbuatan menghilangkan sebagian Ciptaan.
c. Modifikasi ciptaan adalah pengubahan atas ciptaan
Dalam hal pengaturan karya seni digital mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE sesuai dengan penegasan pada Undang-undang ITE Pasal 25. Maka dapat ditarik kesimpulan bentuk perlindungan karya seni digital NFT adalah melalui peraturan perundang-undangan Hak Cipta dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Perbuatan pelanggaran Twisted Vacancy terhadap karya seni milik Kendra Ahimsa dapat digolongkan sebagai mutilasi suatu ciptaan. sebab perbuatan mengambil unsur gambar gunung dan awan dari karya tersebut tanpa dimodifikasi sama sekali merupakan suatu proses menghilangkan sebagian besar unsur dari ciptaan tersebut. Mutilasi ciptaan muncul karena perbuatan pemotongan ciptaan yang tidak menghasilkan suatu ciptaan yang baru didalamnya.Â
Hak Ekonomi yang dapat diartikan sebagai hak eksploitasi sebab Undang-Undang hak cipta memberikan hak kepada pencipta atau pemegang hak dalam waktu tertentu untuk mengeksploitasi manfaat ekonomi atas ciptaannya. Dalam hal praktik yang dilakukan Twisted Vacancy untuk membuat karya seni NFT melalui metode slashing dan remixing, terdapat Hak Ekonomi pencipta yang karyanya digunakan sebagai bahan untuk bagian dari karya ciptaannya. Terdapat beberapa hak yang bersinggungan terhadap Hak Ekonomi Pencipta yang karyanya digunakan sebagai bagian dari pembuatan karya seni NFT. Yaitu Hak Reproduksi Ciptaan yang disebutkan pada Pasal 9 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Hak Cipta diantaranya terdiri atas Pengadaptasian, Pengaransemenan dan Pentransformasian Ciptaan. Dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap karya seni digital kita juga dapat mengacu pada Undang-Undang ITE Pasal 32 ayat (1) yang dalam kasus Twisted Vacancy dan Kendra Ahimsa perbuatannya dapat digolongkan sebagai dengan sengaja menambah, mengubah, atau mengurangi suatu informasi elektronik.Â
Peraturan yang melindungi karya seni pada era ekonomi digital di Indonesia saat ini belum cukup komperhensif. Negara telah menggunakan kekuasaannya untuk berusaha melindungi dan memenuhi hak--hak moral dan ekonomi dalam kegiatan ekonomi digital warga negaranya. Salah satu bentuk nyata perlindungan hak-hak tersebut diatur dalam ketentuan Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hanya saja formulasi pengaturan-pengaturan tersebut belum mampu melindungi hak-hak pencipta lebih jauh dan spesifik terhadap kejahatan - kejahatan baru yang tersusun secara sistematik dan dalam media digital.Â
B. Tindakan Hukum Terhadap Pelanggaran Karya Cipta Seni Dua Dimensi yang dijadikan Karya Non Fungible Token (NFT)
Kegiatan pada ruang cyberspace melalui media elektronik disamping memberikan manfaat dan kemudahan tetapi juga membuka akses untuk kejahatan jenis baru. Sehingga terobosan pengaturan hukum diperlukan agar dapat memberikan rasa aman bagi seniman atas karya seninya. Salah satu contoh kejahatan tersebut yaitu kejadian yang menimpa Kendra Ahimsa dimana karya seni dua dimensi miliknya telah di copy sebagian. Dalam usaha untuk melindungi perbuatan seperti demikian Undang-Undang Hak Cipta Pasal 55 ayat (1) mengatur bahwa "Setiap Orang yang mengetahui pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait melalui sistem elektronik untuk Penggunaan Secara Komersial dapat melaporkan kepada Menteri." Perlindungan terhadap hak-hak dari pencipta harus berpegangan pada asas yang dinamis terhadap perkembangan teknologi.Â
Tindakan hukum lain dalam menegakkan keadilan di bidang hak cipta dapat dilihat dari penyelesaian sengketa dalam Pasal 95 Undang-Undang Hak Cipta diantaranya melalui mediasi dan pengadilan. Kemudian dalam Undang-Undang Hak Cipta Pasal 99 ayat (1) disebutkan "Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait memiliki hak untuk melakukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait." Sebagaimana tercantum pada Pasal tersebut pencipta atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan perdata yang meliputi gugatan ganti rugi, permohonan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran, dan permohonan penyerahan seluruh atau sebagian dari pelanggaran.Â
Kemudian pada Pasal 99 ayat (4) kurang lebih menjelaskan bahwa pemegang hak cipta juga berhak meminta penetapan sementara dari hakim untuk memerintahkan pelaku pelanggaran menghentikan segala hal kegiatan pelanggaran hak cipta supaya tidak timbul kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak cipta. Selain mediasi dan gugatan ganti rugi, pencipta juga dapat melakukan aduan atas kejahatan terhadap ciptaannya. Pada Era Ekonomi Digital dibutuhkan perumusan aturan perlindungan hak cipta yang lebih komperhensif, Hal ini akan lebih mendorong dan memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi ekonomi digital, yang merupakan suatu strategi kunci dalam ekonomi nasional Indonesia.
Kesimpulan:Â
Maka dari penjelasan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa:Â
Undang - Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE hingga saat ini belum mengatur perlindungan secara jelas dan komprehensif. Dalam kasus perbuatan Twisted Vacancy terhadap karya seni milik Kendra Ahimsa paling mendekati telah melangar Pasal 5 ayat (1) huruf e dan Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-Undang Hak Cipta serta Pasal 32 ayat (1) UndangUndang ITE. Akan tetapi mengenai perbuatan pelanggaran karya seni fisik yang dijadikan karya seni NFT menimbulkan kerancuan untuk penggunaan pasal yang paling menggambarkan perbuatan dari pelanggar. Pada saat ini keberadaan Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE mengatur terlalu general tanpa batasan yang jelas dari berbagai macam kejadian dalam media digital.Â
Tindakan hukum yang perlu serta dapat dilakukan oleh pencipta telah diakomodir oleh Undang-Undang Hak Cipta dengan baik mulai dari pencatatan ciptaan pada Pasal 64 ayat (1), pelaporan konten yang melanggar hak cipta Pasal 55 ayat (1), hingga penyelesaian sengketa pada Pasal 95 Undang-Undang Hak Cipta. Sehingga pencipta dapat melakukan berbagai tindakan hukum tersebut untuk melindungi ciptaanya, akan tetapi dalam praktik tetap mengalami kesulitan ketika pelanggaran terjadi dalam ruang siber dan salah satu pihak berada pada negara yang berbeda.
Dalam jurnal ini juga dijelaskan saran dari penulis yaitu:Â
1. Sebagai payung hukum utama dalam melindungi hak cipta dan perkembangan teknologi yang terjadi begitu cepat sudah yoganya Undang Undang Hak Cipta memberikan pengaturan secara komprehensif dan jelas mengenai perlindungan hak cipta secara elektronik dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan serta perbuatan-perbuatan yang menjurus kearah pelanggaran hak cipta. Sehingga dapat menjamin perlindungan hak cipta dan kepentingan pencipta.
2. Pada era ekonomi digital menyebabkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi menjadi tinggi sehingga hak cipta menjadi salah satu kekayaan intelektual yang paling sering ditemukan pelanggarannya. Diperlukan kerjasama yang solid antara para pemangku kepentingan seperti pencipta, masyarakat dan pemerintah sebagai pengawas serta penegak hukum dari perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan secara elektronik dan tanpa batas wilayah. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepentingan warga negara, badan hukum, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kelebihan dan Kekurangan:Â
Kelebihan jurnal:Â
1. Topik yang diangkat dalam jurnal ini sangat relevan dalam konteks era ekonomi digital saat ini, di mana NFT menjadi fenomena global. Pembahasan mengenai pelanggaran hak cipta dalam dunia NFT memberikan kontribusi yang penting untuk pengembangan hukum dan teknologi digital di Indonesia.Â
2. Dalam jurnal ini dibahas cukup detail mengenai peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta karya seni yang dijadikan karya Non Fungible Token (NFT). Penulis juga menjelaskan bahwa masih banyak aspek hukum terkait NFT yang masih dalam tahap pengembangan. Jurnal ini juga menawarkan wawasan baru mengenai cara perlindungan hak cipta pada karya seni digital yang diubah menjadi NFT, yang merupakan hal yang cukup baru dalam praktik hukum.
3. Jurnal ini membahas tentang isu kontemporer hal ini karena NFT dan hak cipta merupakan isu yang baru dan berkembang pesat diera saat ini. Jurnal ini memberikan pandangan yang lebih luas dan mendalam yang penting bagi para praktisi hukum, seniman, dan pengembang di bidang digital.
4. Dalam jurnal ini pembahasan mengenai pelanggaran hak cipta karya seni yang dijadikan karya Non Fungible Token (NFT) disertai dengan kasus kongkret yang terjadi, sehingga memudahkan pembaca dalam menganalisis dan mengetahui mengenai aspek pelanggaran apa yang menjadi masalah utama dalam kasus tersebut.Â
Kekurangan jurnal:Â
1. Dalam penulisan jurnal terdapat kesalahan dalam penulisannya misalnya pada paragraf yang di tulis berulang pada halaman 7 dan 8 yang membahas mengenai hak ekonomi yang dapat diartikan sebagai hak eksploitasi.Â
2. Jurnal ini hanya berfokus pada sistem hukum di Indonesia, maka analisisnya mungkin terbatas. Permasalahan NFT dan hak cipta bersifat global, sehingga kajian dalam jurnal ini hanya terbatas pada satu yuridiksi yang bisa menjadi kekurangan terutama jika terdapat perbedaan penanganan di negara lain.Â
3. Hukum mengenai hak cipta di dunia digital dan NFT dapat sangat kompleks dan berubah-ubah. Dalam pembahasan jurnal ini masih sedikit menghadapi kesulitan dalam menginterpretasikan peraturan perundang undangan yang masih berkembang dan belum sepenuhnya mencakup teknologi baru seperti NFT.Â
4. Dalam pembahasan jurnal ini hanya menekankan pada aspek hukum saja. Aspek lain seperti dampak dari ekonomi atau psikologis pencipta karya dari pelanggaran hak cipta pada karya NFT belum terlalu disinggung didalamnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H