Libur Ramadan 2025 masih sebatas wacana. Â Artinya belum ada keputusan resmi pemerintah terkait meliburkan sekolah selama bulan puasa. Â Pernyataan ini sudah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno.
"(Libur Ramadhan) belum kita diskusikan. Â Siang ini saya baru bertemu dengan Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti," kata Pratikno di Jakarta Utara, Senin (13/1/2025). Â Dikutip dari: kompas.com
Namun reaksi beragam sudah ada di tengah masyarakat. Â Baik dari kalangan orang tua, ataupun peserta didik. Â Ada yang mendukung, dan ada yang tidak. Â Masing-masing pendapat mempunyai pertimbangannya. Â
Maka pemerintah mempertimbangkan 3 opsi setelah mendengar suara masyarakat yang berkembang, yaitu:
- Libur penuh selama bulan Ramadan
- Libur sebagian, artinya hanya beberapa hari di awal bulan Ramadan. Â Lalu masuk sekolah kembali hingga menjelang Idul Fitri
- Tidak libur, atau masuk sekolah selama Ramadan
Wacana libur selama Ramadan seakan memberikan kesan bulan puasa adalah waktu beribadah. Â Sedangkan pendidikan seolah tidak mendukung kegiatan ibadah. Â Sementara selama ini bukankah dunia pendidikan juga menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran di sekolah. Â Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa telah menekankan pada nilai kemanusiaan, toleransi, saling menghormati, menghargai dan bahkan kebebasan memeluk agama dan beribadah di negeri ini.
Namun kita sepakat untuk menghormati setiap pendapat, tanpa menghakimi. Â Kita juga sadari Indonesia adalah negeri yang beragam suku, budaya, bahasa, makanan dan bahkan agama/ keyakinan. Â Sebagai negeri dengan mayoritas Muslim, secara keseluruhan terdapat 6 agama di negeri ini. Â Jelas tidak mudah untuk hidup berdampingan. Â Artinya toleransi menjadi kata kunci. Â Sedari dini anak-anak di negeri ini telah tumbuh dan diajarkan untuk hidup berdampingan dengan saudara non-Muslim. Â Sejatinya inilah yang harus terus ditanamkan seperti yang tertuang pada Pancasila.
Hanya saja jika sudah menyangkut agama ataupun ibadah maka isu menjadi sensitif. Â Tanpa mengurangi rasa hormat, bukankah pendidikan juga bagian dari ibadah? Â Kemudian momentum bulan Ramadan bisa dijadikan perwujudkan dari Pancasila.
Hal senada juga pernah disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis agar mempertimbangkan pembelajaran dan tak semua murid di sekolah umum Muslim. Â Serta mengatakan jika berpuasa sambil belajar dilakukan, siswa akan terbiasa. Â Kendati demikian, jika hal tersebut mengurangi produktivitas, perlu dipertimbangkan kembali.
"Karena sebenarnya orang berpuasa dengan belajar itu kalau dibiasakan, tidak mengganggu. Tapi kalau dimaklumi karena lapar dan seterusnya maka menjadi tidak produktif oleh Nabi Muhammad SAW ya pendidikan itu pada saat puasa tidak terganggu, bahkan ada peperangan di saat bulan puasa," imbuhnya. Â Dikutip dari: detik.com
Sekalipun libur bulan puasa pernah terjadi di era Presiden ke-4 RI, Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Â Tetapi pendidikan di negeri ini kondisi dan faktanya sudah sangat jauh berbeda. Â
Beberapa hal memprihatinkan terkait pendidikan saat ini:
- Ketergantungan pada gawai
- Minimnya literasi bahkan di usia SMA. Â Faktanya bisa membaca tidak menjamin tahu/ mengerti isi bacaannya.
- Ketidakmampuan memahami matematika dasar
- Minim pengetahuan umum
Setidaknya demikian gambaran yang terlihat dan disajikan belakangan ini di media sosial (medsos). Â Ini bukan sekedar konten. Â Melainkan fakta nyata kualitas pendidikan anak-anak sekarang ini. Â Beberapa berpendapat mereka adalah generasi rebahan. Â Generasi yang terdampak pandemi covid beberapa waktu lalu. Â Diperburuk dengan adanya beberapa kebijakan dunia pendidikan yang justru "memanjakan" peserta didik.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan:
- Rasa keadilan karena tidak semua peserta didik Muslim. Â Bagaimana dengan yang non-Muslim? Â Bagaimana dengan sekolah yang peserta didiknya tidak ada yang Muslim?
- Apakah ada jaminan dengan diliburkan, anak-anak bertanggungjawab belajar di rumah?
- Bukan tidak mungkin ada orang tua yang "terpaksa' mengambil cuti karena kekhawatiran anak di rumah tanpa pengawasan.
- Jikapun daring/ online menjadi solusi. Â Siapa yang bertanggungjawab terhadap kuota? Â Siapa yang dapat memastikan kehadiran anak ketika daring?
- Bagaimana dengan kemungkinan terjadinya tawuran atau begadang efek dari sekolah diliburkan.
Melihat dan menimbang ini semua, rasanya opsi libur sebagian cukuplah bijak. Â Sebagai bentuk toleransi tanpa mengabaikan pendidikan. Â Di mana sekolah diliburkan katakanlah dua hari agar beradaptasi memasuki bulan Ramadan. Â Lalu masuk kembali hingga menjelang Idul Fitri.
Sehingga ketika di sekolah nanti baik yang Muslim maupun non-Muslim saling menghormati. Â Di antara yang berpuasa maupun yang tidak. Â Disinilah bentuk kedewasaan beragama diaplikasikan. Â Sekalipun berbeda keyakinan bukan berarti menjadi berbeda.
Adapun beberapa penyesuaian/ saran untuk opsi kedua ini adalah:
- Meniadakan pelajaran olah raga fisik, dan menggantinya dengan teori saja
- Meniadakan ekstrakulikuler untuk sementara
- Jam sekolah selesai lebih awal, disesuaikan dengan jenjang pendidikannya. Â Di mana peserta didik non-Muslim diizinkan pulang. Â Sedangkan untuk peserta didik Muslim dapat diagendakan kegiatan yang membangun spiritual.
Kita hormati bulan Ramadan. Â Tetapi meliburkan sekolah selama sebulan penuh sangat mungkin menjadikan lingkungan pendidikan menjadi lebih pasif. Â Bahkan dikhawatirkan dapat melemahkan kepercayaan diri peserta didik untuk tetap produktif belajar selama bulan puasa.
Hal penting lainnya adalah kemajemukan bangsa ini, dan nilai-nilai Pancasila yang menjadi pedoman Indonesia. Â Terlepas dari keyakinan yang dianut, alangkah indahnya jika bulan Ramadan menjadi momentum mengajarkan toleransi yang berkeadilan. Â Salam toleransi!
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H