Mengulang waktu jelas tidak mungkin. Â Tetapi mensyukuri waktu yang ada, itu jauh lebih bijak. Â Hanya saja justru bagian penting ini sering kali terabaikan. Â Seperti kata orang, penyesalan itu belakangan. Â Jika di awal, itu namanya pendaftaran. Â Ha...ha...kok jadi ingat ocehan si bungsu jika menyenggol hal yang lucu. Â "Itu joke bapack-bapack ma!" Â Ah...tidak terasa si kakak dan adek kini bukan bocah lagi. Â Tinggallah kami berdua, kembali menjadi sejoli.
"Nanti sore kita jalan yuks! Â Bawa semua perlengkapanmu yah." Â Suara Rangga suamiku dari teras belakang kamar kami. Â Membuyarkanku dari hitungan rajutan. Â Iya, belakangan ini aku memang tertantang merajut. Â Kegiatan baruku selain menulis dan belajar animasi. Â Kembali lagi, jadi ingat ocehan anak-anak, "Mama ini banyak maunya. Â Jadinya mau menulis, membuat animasi atau merajut sih? Â Palingan merajutnya bakal bernasib sama dengan animasi, di PHP in doang!" Â Tetapi, berbeda dengan anak-anak. Â Rangga selalu mendukung semua kegiatanku asalkan positif dan membuatku bahagia katanya.
Lagipula tidak sepenuhnya benar kalau aku ini loncat sana sini. Â Aku itu merajut untuk mencari ide tulisan. Â Sekalian juga mencari ide animasi. Â Kemudian juga untuk menambah teman melalui komunitas baruku. Â Meskipun harus aku akui sudah lama animasi aku tinggalkan karena semakin bikin puyeng. Â Ha....haha....Ssstt....kalau yang ini rahasiaku...
Maka sore itu aku dan Rangga pun pergi mencari angin. Â Tentunya lengkap dengan rajutan dan juga tab. Â Entahlah, lihat saja mana yang kukerjakan nanti, merajut ataukah menulis. Â "Kita ke Pantai Indah Kapuk (PIK) saja yah. Â Kita coba cari tempat yang baru supaya nanti anak-anak datang kita ajak mereka," usul Rangga, dan aku iyakan saja. Â Sebab kepalaku ini mendadak banjir ide tulisan yang siap aku tuangkan di tab nanti.
Teringatnya, inilah kami sekarang, berdua saja! Â Kedua buah hati melanjutkan pendidikannya di provinsi yang berbeda. Â Mereka hanya pulang jika liburan semester. Â Sebenarnya serupa tapi tak sama, Rangga juga bekerja di beda kota. Â Jika sedang cuti, maka kami berdua saja, Uli dan Rangga. Â Iya, kenalkan Uli itu namaku.
Sambil menikmati secangkir kopi cappuccino hangat kami tenggelam dalam kesibukan memandangi lalu lalang orang. Â Sesekali kami mengomentari bocah-bocah imut yang berlarian di sekitar kafe tempat kami duduk. Â Di lain waktu kami juga iseng mengomentari pasangan muda-mudi yang mesranya kebangetan. Â Belum lagi penampilan mereka yang totalitas sekali.
"Duh...itu cowok atau cewek sih? Â Kok licin dan cantik sekali kalau itu cowoknya. Â Aneh-aneh wae sekarang ini, cowok kok justru cantik." Â Rangga sedari muda memang iseng dan lebih julid kalau berkomentar. Â Berbeda dengan aku yang memang cuek. Â Lalu sadar bahwa zaman memang sudah berbeda. Â Meski tidak dipungkiri jiwa emak tentu ada kekhawatiran dengan pergaulan ataupun cara berdandan anak zaman sekarang.
"Husshhh.... jangan julid! Â Kita saja yang sudah tuwir keknya. Â Kalau untuk mereka tampil semodis dan sekinclong itu biasa saja. Â Bahkan gandengan sampai nempel lengket seperti itu sekarang biasa saja. Â Beda dengan zaman kita yang kakunya seperti kanebo," ocehanku membuat Rangga meledak tertawa. Â "Hahahah....lha...iyalah. Â Zaman dulu bentuk cowok dan cewek itu jelas. Â Tidak nanggung seperti sekarang ini!"
Teringatnya, cepat juga waktu berlalu yah pikirku dalam hati. Â Tidak terasa kini kami kembali hanya berdua. Â Bahkan kakak tidak lama lagi menyelesaikan kuliahnya. Â Lanjut di tahun selanjutnya si bungsu kami. Â Kemudian mereka bekerja, dan berumah tangga. Â Lalu kami menjadi opa dan oma, begitukah? Â Emang iya? Â Aku tersenyum dengan pikiran bebasku sendiri.
"Hayooo...kenapa senyam-senyum sendiri? Â Pasti ada yang lucu dari pasangan yang sedang kasmaran di pojok sana yah?" Â Seenaknya saja Rangga menuduhku. Â Meski ini artinya, sedari tadi rupanya Rangga kepo memperhatikan kekinclongan pasangan kasmaran di pojok kafe itu. Â Tidak aneh sih, namanya juga Rangga. Â "Wkwkwk.....," aku kembali senyam-senyum sendiri.
Aku lalu mengambil tab sambil menjawab kebingungannya. Â "Ehhmmm....enggak terasa kita sudah tua menuju tua banget yah Ngga. Â Anak-anak sebentar lagi selesai kuliah dan lanjut berumahtangga deh. Â Lalu kita bagaimana yah Ngga?" Â Kataku lanjut menghirup cappuccino hangat yang cocok sekali menemani dinginnya hembusan angin yang beranjak malam.
"Kita yah beginilah, berdua saja. Â Nanti aku berkebun, dan kamu khan masih ada O2 loh! Â Dua kura-kura sulcatamu yang sekarang sudah semakin besar. Â Nanti anak-anak mereka pasti menambah kesibukanmu. Â Dijamin kita tidak bakal kesepian." Â Seyakin itu Rangga menjawab dan menganggap O2 juga menjadi bagian yang bakal memberikan cucu untuk kami. Â Kocak memang si Rangga ini.
Teringatnya, tidak heran orang zaman dulu memiliki anak banyak. Â Tetapi zaman sekarang manalah bisa. Â Selain biaya yang tinggi, tantangan pergaulan zaman sekarang juga ngeri-ngeri sedap. Â Punya anak tidak cukup dibuat kenyang supaya besar. Â Tetapi harus dipastikan karakternya dan masa depannya aman. Â Setidaknya bagiku dan Rangga inilah prinsip yang kami sepakati.
Tidak terasa malam semakin larut, kami lalu memutuskan pulang. Â Seperti dulu, kini kami selalu bergandengan tangan. Â Hal mewah yang kini kembali mewarnai kehidupan kami sejak anak-anak jauh. Â Pembedanya, cinta itu kini tidak membuta dan kekanakan. Â Seiring waktu dan usia, cinta tumbuh menjadi kasih dan sayang yang saling melengkapi.
Jakarta, 10 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H