Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Sejoli di Suatu Sore

10 Januari 2025   03:48 Diperbarui: 10 Januari 2025   04:01 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ottencoffee.co.id/

Mengulang waktu jelas tidak mungkin.  Tetapi mensyukuri waktu yang ada, itu jauh lebih bijak.  Hanya saja justru bagian penting ini sering kali terabaikan.  Seperti kata orang, penyesalan itu belakangan.  Jika di awal, itu namanya pendaftaran.   Ha...ha...kok jadi ingat ocehan si bungsu jika menyenggol hal yang lucu.  "Itu joke bapack-bapack ma!"  Ah...tidak terasa si kakak dan adek kini bukan bocah lagi.  Tinggallah kami berdua, kembali menjadi sejoli.

"Nanti sore kita jalan yuks!  Bawa semua perlengkapanmu yah."  Suara Rangga suamiku dari teras belakang kamar kami.  Membuyarkanku dari hitungan rajutan.  Iya, belakangan ini aku memang tertantang merajut.  Kegiatan baruku selain menulis dan belajar animasi.  Kembali lagi, jadi ingat ocehan anak-anak, "Mama ini banyak maunya.  Jadinya mau menulis, membuat animasi atau merajut sih?  Palingan merajutnya bakal bernasib sama dengan animasi, di PHP in doang!"  Tetapi, berbeda dengan anak-anak.  Rangga selalu mendukung semua kegiatanku asalkan positif dan membuatku bahagia katanya.

Lagipula tidak sepenuhnya benar kalau aku ini loncat sana sini.  Aku itu merajut untuk mencari ide tulisan.  Sekalian juga mencari ide animasi.  Kemudian juga untuk menambah teman melalui komunitas baruku.  Meskipun harus aku akui sudah lama animasi aku tinggalkan karena semakin bikin puyeng.  Ha....haha....Ssstt....kalau yang ini rahasiaku...

Maka sore itu aku dan Rangga pun pergi mencari angin.  Tentunya lengkap dengan rajutan dan juga tab.  Entahlah, lihat saja mana yang kukerjakan nanti, merajut ataukah menulis.  "Kita ke Pantai Indah Kapuk (PIK) saja yah.  Kita coba cari tempat yang baru supaya nanti anak-anak datang kita ajak mereka," usul Rangga, dan aku iyakan saja.  Sebab kepalaku ini mendadak banjir ide tulisan yang siap aku tuangkan di tab nanti.

Teringatnya, inilah kami sekarang, berdua saja!  Kedua buah hati melanjutkan pendidikannya di provinsi yang berbeda.  Mereka hanya pulang jika liburan semester.  Sebenarnya serupa tapi tak sama, Rangga juga bekerja di beda kota.  Jika sedang cuti, maka kami berdua saja, Uli dan Rangga.  Iya, kenalkan Uli itu namaku.

Sambil menikmati secangkir kopi cappuccino hangat kami tenggelam dalam kesibukan memandangi lalu lalang orang.  Sesekali kami mengomentari bocah-bocah imut yang berlarian di sekitar kafe tempat kami duduk.  Di lain waktu kami juga iseng mengomentari pasangan muda-mudi yang mesranya kebangetan.  Belum lagi penampilan mereka yang totalitas sekali.

"Duh...itu cowok atau cewek sih?  Kok licin dan cantik sekali kalau itu cowoknya.  Aneh-aneh wae sekarang ini, cowok kok justru cantik."  Rangga sedari muda memang iseng dan lebih julid kalau berkomentar.  Berbeda dengan aku yang memang cuek.  Lalu sadar bahwa zaman memang sudah berbeda.  Meski tidak dipungkiri jiwa emak tentu ada kekhawatiran dengan pergaulan ataupun cara berdandan anak zaman sekarang.

"Husshhh.... jangan julid!  Kita saja yang sudah tuwir keknya.  Kalau untuk mereka tampil semodis dan sekinclong itu biasa saja.  Bahkan gandengan sampai nempel lengket seperti itu sekarang biasa saja.  Beda dengan zaman kita yang kakunya seperti kanebo," ocehanku membuat Rangga meledak tertawa.  "Hahahah....lha...iyalah.  Zaman dulu bentuk cowok dan cewek itu jelas.  Tidak nanggung seperti sekarang ini!"

Teringatnya, cepat juga waktu berlalu yah pikirku dalam hati.  Tidak terasa kini kami kembali hanya berdua.  Bahkan kakak tidak lama lagi menyelesaikan kuliahnya.  Lanjut di tahun selanjutnya si bungsu kami.  Kemudian mereka bekerja, dan berumah tangga.  Lalu kami menjadi opa dan oma, begitukah?  Emang iya?  Aku tersenyum dengan pikiran bebasku sendiri.

"Hayooo...kenapa senyam-senyum sendiri?  Pasti ada yang lucu dari pasangan yang sedang kasmaran di pojok sana yah?"  Seenaknya saja Rangga menuduhku.  Meski ini artinya, sedari tadi rupanya Rangga kepo memperhatikan kekinclongan pasangan kasmaran di pojok kafe itu.  Tidak aneh sih, namanya juga Rangga.  "Wkwkwk.....," aku kembali senyam-senyum sendiri.

Aku lalu mengambil tab sambil menjawab kebingungannya.  "Ehhmmm....enggak terasa kita sudah tua menuju tua banget yah Ngga.  Anak-anak sebentar lagi selesai kuliah dan lanjut berumahtangga deh.  Lalu kita bagaimana yah Ngga?"  Kataku lanjut menghirup cappuccino hangat yang cocok sekali menemani dinginnya hembusan angin yang beranjak malam.

"Kita yah beginilah, berdua saja.  Nanti aku berkebun, dan kamu khan masih ada O2 loh!  Dua kura-kura sulcatamu yang sekarang sudah semakin besar.  Nanti anak-anak mereka pasti menambah kesibukanmu.  Dijamin kita tidak bakal kesepian."  Seyakin itu Rangga menjawab dan menganggap O2 juga menjadi bagian yang bakal memberikan cucu untuk kami.  Kocak memang si Rangga ini.

Teringatnya, tidak heran orang zaman dulu memiliki anak banyak.  Tetapi zaman sekarang manalah bisa.  Selain biaya yang tinggi, tantangan pergaulan zaman sekarang juga ngeri-ngeri sedap.  Punya anak tidak cukup dibuat kenyang supaya besar.  Tetapi harus dipastikan karakternya dan masa depannya aman.  Setidaknya bagiku dan Rangga inilah prinsip yang kami sepakati.

Tidak terasa malam semakin larut, kami lalu memutuskan pulang.  Seperti dulu, kini kami selalu bergandengan tangan.  Hal mewah yang kini kembali mewarnai kehidupan kami sejak anak-anak jauh.  Pembedanya, cinta itu kini tidak membuta dan kekanakan.  Seiring waktu dan usia, cinta tumbuh menjadi kasih dan sayang yang saling melengkapi.

Jakarta, 10 Januari 2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun