Aku lalu mengambil tab sambil menjawab kebingungannya. Â "Ehhmmm....enggak terasa kita sudah tua menuju tua banget yah Ngga. Â Anak-anak sebentar lagi selesai kuliah dan lanjut berumahtangga deh. Â Lalu kita bagaimana yah Ngga?" Â Kataku lanjut menghirup cappuccino hangat yang cocok sekali menemani dinginnya hembusan angin yang beranjak malam.
"Kita yah beginilah, berdua saja. Â Nanti aku berkebun, dan kamu khan masih ada O2 loh! Â Dua kura-kura sulcatamu yang sekarang sudah semakin besar. Â Nanti anak-anak mereka pasti menambah kesibukanmu. Â Dijamin kita tidak bakal kesepian." Â Seyakin itu Rangga menjawab dan menganggap O2 juga menjadi bagian yang bakal memberikan cucu untuk kami. Â Kocak memang si Rangga ini.
Teringatnya, tidak heran orang zaman dulu memiliki anak banyak. Â Tetapi zaman sekarang manalah bisa. Â Selain biaya yang tinggi, tantangan pergaulan zaman sekarang juga ngeri-ngeri sedap. Â Punya anak tidak cukup dibuat kenyang supaya besar. Â Tetapi harus dipastikan karakternya dan masa depannya aman. Â Setidaknya bagiku dan Rangga inilah prinsip yang kami sepakati.
Tidak terasa malam semakin larut, kami lalu memutuskan pulang. Â Seperti dulu, kini kami selalu bergandengan tangan. Â Hal mewah yang kini kembali mewarnai kehidupan kami sejak anak-anak jauh. Â Pembedanya, cinta itu kini tidak membuta dan kekanakan. Â Seiring waktu dan usia, cinta tumbuh menjadi kasih dan sayang yang saling melengkapi.
Jakarta, 10 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H