Sinyal digelarnya kembali Ujian Nasional (UN) tahun 2026 adalah kabar gembira di tengah merosotnya kualitas dunia pendidikan. Â Tentu pro dan kontra tidak terhindarkan. Â Namun adalah fakta yang memprihatinkan, kalau tidak mau dikatakan mengerikan melihat kemampuan akademik generasi saat ini.
"Ujian nasional sudah siap sebenarnya secara konsep, tapi 2025 ini belum kita laksanakan," ujar Abdul di kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024), dilansir dari Kompas.com. Â Dikutip dari: kompas.com
Terlepas kemungkinan adanya perubahan format UN yang kabarnya hanya akan diselenggarakan oleh sekolah yang sudah terakreditasi. Â Tetapi yang pasti peserta didik jelas membutuhkan alat ukur capaian akademis siswa di tingkat nasional. Di dalam hal inilah UN tepat! Â Sebab menekankan kepada hasil evaluasi per individu sehingga menentukan kelulusan.
Apakah kita mau mengingkari bahwa pendidikan akademik tidak penting? Â Bahwa di kehidupan tidak dibutuhkan matematika, biologi atau pun mata pelajaran lainnya? Â Sebagai orang tua, saya tidak sependapat dengan pemahaman seperti ini.Â
Menurut saya, mata pelajaran di bangku sekolah adalah alat untuk menemukan minat dan bakat anak. Â Apakah anak tersebut kuat di matematika, bahasa atau lainnya. Â Inilah yang nantinya dibaca sebagai gambaran cita-cita, mimpi ataupun profesi anak di masa depan. Â Tetapi, bagaimana bisa dibaca jika anak tidak memiliki motivasi belajar. Â Sebab tidak ada yang diperjuangkannya karena tidak ada tantangan.Â
Faktanya begitulah selama ini. Â Dihapusnya UN dan bahkan ditiadakannya tinggal kelas telah membuat anak hidup di zona nyaman dan aman. Â Sekaligus telah menghilangkan prinsip keadilan bagi anak yang sungguh bertanggungjawab belajar.
Terlalu sering kita menyaksikan di media sosial (medsos) anak usia SMP dan bahkan SMA tidak bisa matematika dasar. Â Tidak bisa membedakan antara negara dan benua, dan bahkan tidak mengetahui pahlawan nasional! Â Ngerinya lagi banyak anak zaman sekarang ini lebih hafal dengan joget Tiktok ataupun segala hal yang berbau Korea. Â Tetapi ketika ditanyakan hal akademik maka diam membisu. Â Bahkan untuk sekedar mengetahui cita-citanya saja tidak tahu! Â Padahal mereka ini bersekolah! Â Pertanyaannya, di sekolah selama apa yang dipelajari, atau ngapain saja? Â Miris sekali melihatnya.
Berbagi pengalaman curhat putra saya yang ditengah kesibukan kuliah juga mengisi waktunya sebagai guru bimbel online. Â Betapa kagetnya dia ketika mendapatkan murid SMP kelas akhir yang tidak bisa matematika sederhana, dan bahkan tidak bisa memahami soal yang ditanyakan. Â Pertanyaannya, kok bisa anak ini kemarin lulus SD? Â Lalu, apakah kualitas yang tidak bisa matematika dasar ini juga akan lulus SMP? Â Lalu bagaimana dengan SMA nanti? Â Bagaimana nantinya merebut bangku UTBK misalnya? Â Sementara di UTBK jelas mengenai persaingan, se-Indonesia bahkan! Â Katakanlah tidak kuliah di negeri, berkuliah di swastas sekalipun ada seleksi, ada persaingan!Â
Saya pribadi tidak setuju dengan pendapat UN membuat anak menjadi stress. Â Justru UN membuat anak menjadi terpacu. Â Tentunya jika anak tersebut memiliki tanggungjawab terhadap sekolahnya. Â Sadar dirinya harus bersekolah untuk kebaikannya. Â Memiliki motivasi untuk maju karena ingin mencapai impiannya. Â Kesadaran belajar dan suka belajar inilah yang harus ditumbuhkan. Â Siapa yang menumbuhkannya? Â Tentu kerjasama antara anak, orang tua dan juga guru di sekolah.Â
Sedikit berbagi pengalaman ketika kedua anak saya masih bersekolah. Â Keduanya sangat menikmati masa sekolah mereka sejak playgroup hingga SMP yang ketika itu masih di sekolah swasta. Mereka tidak sabar untuk ke sekolah, bertemu teman dan belajar dengan begitu asyiknya. Â Guru-gurunya berhasil menghadirkan suasana belajar yang akrab. Â Jauh dari kesan monoton. Artinya kebiasaan suka ke sekolah, dan suka belajar inilah yang harus tumbuh menjadi karakter.Â
Seperti halnya juga ketika SMA keduanya melanjutkan ke negeri. Â Merekapun tetap menikmati masa sekolahnya meski dengan suasana yang berbeda. Â Salah satu penyebabnya adalah karena rasa suka belajar itu sudah tumbuh sejak dini. Â Sebagai orang tua, peran saya adalah selain menumbuhkan minat baca, juga menanamkan disiplin belajar dan menumbuhkan mimpi. Â Mimpi inilah yang mereka perjuangkan tanpa paksaan. Â Sebab minat itu sudah tumbuh seiring masa bersekolah mereka melalui mata pelajaran selama ini. Singkat cerita, puji Tuhan membawa keduanya diterima di PTN terbaik di negeri ini melalui UTBK.
Termasuk si bungsu yang kini kuliah dan juga mengajar sebagai guru bimbel tersebut. Â Dirinya adalah korban dari dihilangkannya UN secara mendadak dipenghujung kelas 9, atau SMP kelas akhir. Â Padahal sejak kelas 7 dirinya telah belajar sungguh demi mendapatkan nilai UN terbaik. Â Kemauan itu lahir tanpa paksaan. Â Tetapi karena kesadaran memperjuangkan masa depan agar diterima di SMA negeri terbaik.
Artinya, UN janganlah hanya dipandang hanya menyoal nilai semata. Â Melainkan cobalah juga melihatnya sebagai satuan ukur kemampuan setiap individu, di dalam hal ini anak sebagai peserta didik. Â Apakah kita akan membiarkan dunia pendidikan meluluskan peserta didik yang mentah, yang kosong? Â Lalu, apakah kita akan mematikan motivasi dan daya juang anak dengan "pembenaran" nanti stress?
Sementara di kehidupan nyata tidak ada yang mudah diraih! Â Segala hal perlu diperjuangkan, perlu daya juang! Â Hanya yang pantas, dan mampu yang bisa bertahan nantinya. Â Jika bukan diri sendiri yang peduli pada masa depannya, lalu siapa? Â Apakah kita mau melahirkan generasi yang apatis? Â Terperdaya dengan khayalan kemudahan yang disajikan di medsos? Â Padahal dunia semakin kompetitif. Â Lalu Indonesia akan berakhir bagaimana nantinya jika generasinya apatis.
Akhirnya, secara pribadi saya setuju UN kembali digelar. Â Semata karena kekhawatiran terhadap kualitas pendidikan di negeri ini. Â Serta kualitas akademik generasi saat ini. Â Padahal merekalah pemegang tongkat estafet kepemimpinan negeri ini nantinya yang harus siap berkompetisi secara global.Â
Sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H