Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Pak Sopir

17 Desember 2024   02:24 Diperbarui: 17 Desember 2024   02:24 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://dfrcollection.com/

Tumben hari ini Stasiun kereta api cepat Whoosh Halim ramai sekali, pikirku dalam hati.  Padahal tidak weekend, dan bukan musim liburan sekolah.  Setahuku di Bandung juga tidak ada acara apapun yang istimewa.  "Haiyaaa..... panas Jakarta kok yah totalitas sekali.  Kebanting kulit ini dengan sejuknya kota Bandung."   Mulutku ini tidak bisa kompromi mengeluh, sambil aku merapikan ikatan rambut.

"Taxinya bu," tetiba petugas taxi berwarna biru dan berlogo burung mengejutkanku.  Lalu aku menganggukan kepala, dan sigapnya koper kecilku pun langsung dibantu dibawakannya.  "Kantong plastiknya biarkan saya yang bawa mas."  Ucapku mengamankan oleh-oleh kue kering dari Bandung, khawatir aku toplesnya meluncur.  Iya, itu kue kering untuk persiapan menyambut Natal nanti yang sengaja kubawa dari Bandung.

Beberapa saat sejuk rasanya menikmati AC dalam taxi yang mulai laju.  "Ramai banget yah pak hari ini," aku membuka percakapan.  Yup, aku memang tidak bisa menjadi patung jika naik taxi.  Sebagai penulis, kesempatan bertemu orang adalah materi untuk tulisanku.

"Beberapa hari lalu sempat hujan bu.  Tidak besar, tetapi lumayan awet.  Di Bandung hujan terus yah bu?  Pasti semakin bertambah sejuknya."  Ramah dan lancar sekali si bapak menyambut percakapanku.  Bisa jadi bapak ini juga satu tipe denganku, tidak betah diam-diaman.

"Berapa harga karcis Whoosh sekarang bu?  Kalau murah, anak saya minta diajak coba naik Whoosh.  Tetapi nanti jika kuliahnya di Surabaya sudah libur.

Kamipun terlibat dalam percakapan yang seru.  Bahkan aku jadi kagum karena anak si bapak ini rupanya berkuliah di jurusan Informatika Universitas Airlangga (Unair).  Bertambah kagumku Unair didapatnya melalui jalur undangan (SNMPTN) dan saat ini putranya tersebutpun berkuliah dengan beasiswa.  Bak bonus kagum, bahkan anaknya ini sudah mendapatkan beasiswa sedari SMA!  Wow....!!!

Jadi pak, untuk naik Whoosh tidak ada harga karcis yang pasti.  Selain dilihat dari kelasnya yang dibagi 3, yaitu VIP, Bisnis dan Ekonomi, juga dilihat dari jam keberangkatannya.  Kurang lebihnya begitu pak, dan ajak sajalah putra bapak itu mencoba.  Ambil yang bisnis, seperti saya ini.  Nggak penting kelaslah, sampainya juga barengan," kataku, dan kamipun tertawa pertanda satu pemikiran tampaknya.

Percakapan kami loncat sana dan sini.  Namun si bapak fokus menanyakan pendidikan.  Tentang beasiswa LPDP, IISMA dan juga tentang anak keduanya yang mendapatkan kesempatan akselerasi.

Puji Tuhan, aku bisa menjawabnya dan dimengertinya dengan baik.  Sedikit banyak dikarenakan suka menulis dan pernah dipercaya sebagai perwakilan kelas membuat aku cukup paham mengenai yang ditanyakannya.  Meski bertanya juga dalam hati ini.  "Tumben banget ada seorang bapak sebegitunya menanyakan informasi pendidikan anak-anaknya.  Sebegitunya rasa bangga itu sangat bisa aku rasakan."

Tidak butuh lama dan mengalir saja bapak tersebut menceritakan dirinya.  Siapa sangka bapak ini lulusan Fakultas Teknik Sipil UGM dan sebelumnya menduduki posisi nyaman di sebuah perusahaan kontraktor.  Tetapi hidup adalah sebuah pilihan begitulah adanya.  Bapak ini memilih berhenti dari pekerjaannya dan fokus mengurus istrinya.  Hingga akhirnya kematian memisahkan mereka.  Selanjut ada tiga buah hati yang menjadi tanggungjawabnya.

"Saya bahagia diberikan kesempatan mengurus istri.  Sekalipun berakhir dipisahkan oleh maut.  Saya juga bahagia bisa membesarkan ketiga anak kami.  Meski ujung-ujungnya terpaksa ketiganya saya titipkan di orangtua di Jogya.  Sebab, saya harus mencari nafkah untuk masa depan dan pendidikan mereka."  Mengalir pengakuan yang juga menjawab pertanyaan dalam hatiku. 

Tidak lama terasa suaranya bergetar.  Sekilas sempat aku melihatnya mengusap ujung mata.  "Maaf, tetiba saya jadi terharu bu.  Saya ini berangkat dari keluarga miskin.  Berkuliah di UGM adalah perjuangan habis-habisan saya agar bapak dan ibu saya tidak susah.  Memang akhirnya keduanya sempat merasakan kehidupan membaik.  Siapa yang tahu nasib orang bu.  Ketika saya harus memilih posisi dan menghabiskan waktu merawat istri di sisa hidupnya.  Kehilangan itu rasanya sakit banget bu.  Pengalaman juga mengajarkan untuk hanya bergantung kepada Tuhan.  Di saat saya terpuruk, tetiba entah di mana teman-teman itu."

Aku hanya diam karena tidak menyangka sepercaya itu si bapak bercerita.  Nyatanya memang begitu adanya.

"Saya senang bisa bertemu ibu.  Hari ini semua pertanyaan tentang beasiswa, akselerasi dan bahkan tentang banyak hal terjawab sudah.  Nanti saat anak saya datang ke Jakarta, kami akan ngobrol dan mendiskusikan tentang rencana beasiswanya itu.  Pastinya juga mencoba Whoosh dong bu.  Terima kasih yah bu.  Semoga bisa terwujud mimpi anak saya kuliah di negeri orang.  Ibunya pasti bangga."  Kembali aku merasakan getaran getir pada suara si bapak.

Sepanjang perjalanan, aku lebih memilih menjadi pendengar.  Hanya sesekali aku ikutan berbicara.  Aku bisa merasakan duka si bapak yang masih belum selesai.  Serta bagaimana dirinya tetap memikirkan pendidikan ketiga anaknya.   Terasa sekali bahwa pendidikan hal penting bagi si bapak yang notabene sebenarnya lulusan UGM ini.  Kondisilah yang membuat ini menjadi pilihannya.  Namun tidak membuat si bapak mati langkah.  Baginya pendidikan anak adalah yang utama agar ketiganya bisa lebih baik nantinya.

Tidak terasa taxi sudah berada di depan rumahku.  "Terima kasih yah pak sudah mau berbagi.  Izin menuliskan cerita bapak nanti.  Semoga bisa menginspirasi banyak orang.  Kagum saya pada bapak sebagai lelaki sebegitunya memperjuangkan pendidikan anak, dan tidak hanya menuntut anak.  Semoga, entah bagaimana caranya Tuhan, bapak bisa kembali bekerja seperti semula.  Bahkan mungkin berdiri sendiri.  Jika ada yang ingin ditanyakan mengenai pendidikan, ini rumah saya.  Monggo, bapak bisa mampir kapan saja."  Aku pun mengakhiri perjalanan dan membayarkan argo taxi.

Inilah isi hati Pak Bimo, sopir taxi yang memiliki hati dan mimpi untuk ketiga buah hatinya.  Seribu satu cerita perjuangan seorang bapak untuk keluarga tercintanya.  Seorang bapak, seorang laki-laki memang kerap terlupa di mata anaknya.  Laki-laki juga sepertinya pantang mengeluarkan airmata.   Padahal setiap tetesan keringatnya adalah cinta untuk keluarga yang tidak bisa dikatakannya lewat kata-kata.

Jika Pak Bimo membaca tulisan ini.   Semoga ananda tercinta bisa mencoba naik Whoosh yah pak.  Semoga juga mimpinya mendapatkan beasiswa di negeri orang tercapai.  Tuhan memberkati.

Jakarta, 17 Desember 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun