Tidak tepat rasanya mengartikan kompetisi sebagai persaingan negatif. Â Terlebih di dunia pendidikan. Â Sejatinya dengan kompetisi justru harapannya membantu mengidentifikasi dan menggali potensi peserta didik. Â Sebab dengan berkompetisi anak dikenalkan kepada mimpi, sportifitas, rasa optimis dan juga kejujuran.
Kompetisi di bangku sekolah juga mengenalkan kepada interaksi dan kolaborasi. Â Sehingga anak menyadari dirinya makhluk sosial yang harus mampu bekerjasama. Â Serta siap bertahan di tengah persaingan dunia nantinya. Â Sekaligus, mengenal arti keberhasilan dan kegagalan sebagai paket setiap individu di tengah kehidupan yang penuh persaingan. Â Faktanya negara sekalipun tidak bisa lepas dari berlomba dan berusaha menjadi lebih baik.
Teringat kepada wacana kembalinya Ujian Negara (UN) dan diberlakukannya tinggal kelas kembali. Â Jujur, setuju sekali! Â Apa yang terjadi saat ini sudah sangat menggelisahkan! Â Bagaimana tidak menggelisahkan melihat anak usia SMP tetapi mentah perkalian/ pembagian matematika sederhana! Â Bukankah seharusnya ketika tamat SD sudah dikuasai?
Semakin memprihatinkan, bahkan anak usia SMA tidak bisa membedakan antara negara di Asia dan benua Eropa! Â Belum lagi fakta banyak anak-anak sekarang ini tidak mengenal pahlawan nasional. Â Ini menyedihkan sekali. Â Tidak semata menyoal pendidikan. Â Tetapi juga menyangkut masa depan bangsa.
Opini saya, sangat mungkin ini terjadi karena sudah mati gayanya pendidikan. Â Anak kehilangan greget karena tidak ada yang dikejarnya. Â Tidak ada yang harus diperjuangkannya. Â Lebih tepatnya, mau bagaimanapun belajarnya pasti naik kelas. Â Mau bagaimanapun pencapaiannya, pastilah lulus! Â Soal nilai siapa peduli! Â Artinya, anak-anak ini telah kehilangan daya juang dan mimpi dalam arti yang sesungguhnya.
Buktinya, ketika ditanyakan cita-citanya. Â Kebanyakan menjawab tidak tahu. Â Kalaupun ada, maka jawaban berjamaah yang sedang trend, "mau jadi konten kreator." Â Padahal untuk menjadi konten kreator sekalipun tetaplah pendidikan menjadi kuncinya.
Pendidikan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia berkualitas dan mampu mendorong inovasi. Â Kemudian, pendidikan juga sangat penting bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa. Â Bagaimana kemajuan bangsa bisa berlangsung, jika kualitas pendidikan generasi penerusnya memprihatinkan. Â Lalu bagaimana negeri ini bisa bersaing secara global ketika generasi penerusnya bahkan kehilangan jiwa kompetisi.
Ironis, berdasarkan refleksi hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023, Indonesia berada di peringkat 68. Â Kemudian secara global pendidikan Indonesia menempati urutan ke 57. Â Serta catatan UNESCO, Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia. Â Ini artinya minat baca di negara ini sangat rendah. Â Maka tidaklah heran IQ rata-rata orang Indonesia adalah 78,49 atau urutan ke 130 dunia. Â Padahal kita sudah berada di era digital dan dunia yang kompetitif.
Menghadirkan wajah pendidikan yang menyenangkan jelas sebuah keharusan. Â Tetapi "mematikan" kompetisi tidaklah tepat. Â Nantinya akan berujung pendidikan yang hambar. Â Sejatinya pendidikan harus mampu menghidupkan rasa keinginan tahu anak, kreatifitas yang akhirnya membangun mimpi. Â Mimpi yang berlomba oleh si anak untuk diwujudkan lewat kompetisi yang sportif dan menjunjung kejujuran.
Maka hakikatnya menyoal UN hanyalah sebuah judul atau nama. Â Namun meniadakan UN seperti meniadakan barometer yang menjadi ukuran kemampuan anak dan kualitas pendidikan di negeri ini. Â Demikian halnya juga dengan auto naik kelas. Â Terbukti yang terjadi saat ini sebuah kenyataan pahit. Ini bukan narasi atau berdasarkan pemberitaan di media sosial (medsos) beberapa waktu lalu.Â