Terik matahari yang menyengat nampaknya tidak menyurutkan semangat bocah laki-laki yang dengan senyumnya memandangku dari kejauhan. Â "Kuenya bu, yang asin tinggal satu," ucapnya agak meninggikan suara agar terdengar olehku. Â Sigap dirinya kemudian sibuk mencari dari kantong bawaannya yang berwarna hijau.
Yup, bocah yang tidak kuingat namanya ini sudah lama sekali tidak bertemu. Â Tetapi rupanya dia mengingatku. Â Aku memang mengenalnya ketika masih kecil, dan selalu menanyakan jajan pasar yang asin. Â Maka aku pun menghampiri dan membalas senyumnya. Â Sementara suamiku yang berjalan bersamaku memilih memberikan ruang untuk kami berdua.
"Hei...kamu sudah besar dan tinggi. Â Kelas berapa sekarang? Â Kalau tidak salah, terakhir kita bertemu, kamu kelas 3 SD bukan? Â Uuuppps.....kamu masih sekolah dong? Â Iya, atau iya?" Â Tanyaku beruntun tanpa memberinya kesempatan menjawab satu per satu.
Bocah ini hanya cengar-cengir saja, dan menyodorkan dua potong lumpia dalam kemasan mika yang dilengkapi dengan cabe rawit mungil. Â "Maaf bu, hanya ada satu saja kemasan saja. Â Ibu tidak mau coba yang manis, tawarnya." Â Aku pun menerima lumpia buatan emaknya itu, dan membayarnya lebih.
"Ha...ha...ibu masih seperti dulu.  Selalu dan selalu saja bayarnya dilebihkan."  Begitu  "komplainnya" dengan wajah bahagia.
Â
Tidak berhenti disitu, dirinya pun bercerita. Â " Saya sekarang sudah kelas 1 SMP ibu. Â Seperti janji saya, akan terus bersekolah." Â Tapi ibu belum pernah menjawab kenapa selalu membayar lebih. Â Padahal saya selalu ingat janji saya ke ibu.
Aku pun tersenyum penuh haru. Â Meski rasanya hatiku teriris pedih sekali. Â Membayangkan bocah kecil yang kukenal sewaktu kelas 3 SD ini ternyata memegang teguh janjinya kepadaku, notabene orang yang baru dikenalnya. Â Iya, janjinya untuk terus bersekolah dan mengubah hidupnya lewat pendidikan.
"Setelah SMP, saya mau lanjut SMA dan kuliah bu. Â Jika tidak dapat jalur undangan maka saya akan berjuang lewat UTBK. Â Saya mau mengambil jurusan bisnis bu." Â Suaranya percaya diri, dan matanya menunjukkan semangat tinggi. Â Meyakini melalui pendidikan, dirinya bisa merubah kehidupan menjadi lebih baik.
Aku tertegun mendengarnya, dan rasanya ngilu. Â Bayangkan bocah ini telah tahu apa dan kemana dirinya nantinya. Â Mengingatkanku kali pertama mengenalnya. Â Hari ketika dirinya menawarkan jajan pasar buatan emaknya. Â "Dicoba bu, enak loh ini kue buatan emak. Â Tenang, pasti ibu bertanya-tanya saya sekolah tidak. Â Saya sekolah dulu bu. Â Kemudian pulang ambil dagangan buatan emak. Â Sorenya, baru deh saya belajar. Â Ayo dicoba bu. Â Dijamin enak dan pasti suka."
Ah...ternyata anak sekecil dirinya tidak menyerah pada keadaan. Â Meskipun harus berjuang mencari rupiah demi melanjutkan hidup. Â Tetapi, kesulitan tidak membuatnya berhenti bermimpi. Â Justru dia membuktikan dirinya tidak hanya bermimpi. Â Tetapi juga berjuang mewujudkan mimpi.
"Aku selalu kasih lebih, karena itu perjanjian loh.... Â Perjanjian kamu harus kuliah. Â Seperti janjimu untuk terus sekolah." Â Hehehe...kataku menahan airmata menjawab pertanyaannya selama ini. Â Haru karena aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya bersekolah. Â Aku hanya dapat memotivasi dan melebihkan pembayaranku setiap kali membeli dagangannya.
"Pasti bu! Â Saya akan tepati kata-kata saya. Â Saya akan buat emak dan ibu bangga. Â Lihat, akan saya buktikan! Â Saya mau kuliah dan belajar bisnis, supaya emak tidak susah lagi, dan hidup kami menjadi lebih baik." Â Yakinnya dengan bahagia sekali. Â Kami pun berpisah.
Bocah kecil yang kini sudah beranjak remaja ini adalah cerita nyata satu dari banyak impian anak Indonesia yang dikarenakan kemiskinan lalu harus memenangkan rasa lapar ketimbang pendidikan. Â Bahkan tidak jarang merelakan bangku sekolah untuk mencari rupiah. Â Rantai kebodohan dan kemiskinan yang terus berlanjut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tragis, katanya negeri ini sudah merdeka 79 tahun. Â Apakah iya, kita sungguh sudah merdeka? Â Nyatanya kita hanya terlepas dari tangan penjajah asing. Â Tetapi dilanjutkan oleh penjajahan bangsa sendiri dalam berbagai kemasan.
Para petinggi, birokrasi, peraturan dan kebijakan nyaris tidak pernah memihak kepada rakyat. Â Bahkan pendidikan yang harusnya menjadi prioritas, tetapi hanyalah nomor sekian. Â Ngerinya lagi, pendidikan itu sendiri saja bahkan sibuk mencari identitas.
Ganti Menteri, ganti kebijakan adalah slogan yang melekat kepada dunia pendidikan kita. Â Lalu bagaimana generasi emas yang diimpikan terwujud? Â Sedangkan kebijakan tidak pernah selesai dan terus menerus bongkar pasang. Â Padahal pendidikan erat kaitannya dengan memutus kemiskinan.
Ironis dan tragis! Â Tidak hanya kebijakan yang bergonta-ganti, dan menjadikan anak usia sekolah ibarat kelinci percobaan. Â Bahkan mendidik pun seolah dilemparkan ke tangan bapak dan ibu guru. Â Sementara sekarang ini para pendidik pun disibukan dengan bonus tugas administrasi. Â Di sisi lain, orang tua tenggelam di kesibukannya sendiri, ataupun habis-habisan mencari rupiah demi mempersiapkan biaya kuliah yang kian menjulang tinggi mencekik.
Lingkaran keruwetan yang kusut, dan korban yang paling nyata adalah anak! Â Bukankah semestinya negeri ini tidak "bermain-main" dengan pendidikan. Â Sebab ini menyangkut generasi penerus bangsa.
Seharusnya pendidikan tidak menjadi beban untuk peserta didik ataupun dunia sekolah. Â Sebab, seperti bocah penjual kue yang kukenal, dirinya tidak semata memikirkan sekolah dan sekolah. Â Namun juga harus berjuang untuk mencari rupiah. Â Begitupun, nyatanya tidak menyurutkan langkahnya untuk mewujudkan mimpi. Â Mimpi untuk keluar dari garis kemiskinan.
Bandung, 25 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H