Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Ingin Kuliah

25 Oktober 2024   00:30 Diperbarui: 25 Oktober 2024   01:13 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jogja.tribunnews.com

Terik matahari yang menyengat nampaknya tidak menyurutkan semangat bocah laki-laki yang dengan senyumnya memandangku dari kejauhan.  "Kuenya bu, yang asin tinggal satu," ucapnya agak meninggikan suara agar terdengar olehku.  Sigap dirinya kemudian sibuk mencari dari kantong bawaannya yang berwarna hijau.

Yup, bocah yang tidak kuingat namanya ini sudah lama sekali tidak bertemu.  Tetapi rupanya dia mengingatku.  Aku memang mengenalnya ketika masih kecil, dan selalu menanyakan jajan pasar yang asin.  Maka aku pun menghampiri dan membalas senyumnya.  Sementara suamiku yang berjalan bersamaku memilih memberikan ruang untuk kami berdua.

"Hei...kamu sudah besar dan tinggi.  Kelas berapa sekarang?  Kalau tidak salah, terakhir kita bertemu, kamu kelas 3 SD bukan?  Uuuppps.....kamu masih sekolah dong?  Iya, atau iya?"  Tanyaku beruntun tanpa memberinya kesempatan menjawab satu per satu.

Bocah ini hanya cengar-cengir saja, dan menyodorkan dua potong lumpia dalam kemasan mika yang dilengkapi dengan cabe rawit mungil.  "Maaf bu, hanya ada satu saja kemasan saja.  Ibu tidak mau coba yang manis, tawarnya."  Aku pun menerima lumpia buatan emaknya itu, dan membayarnya lebih.

"Ha...ha...ibu masih seperti dulu.  Selalu dan selalu saja bayarnya dilebihkan."  Begitu  "komplainnya" dengan wajah bahagia.
 
Tidak berhenti disitu, dirinya pun bercerita.  " Saya sekarang sudah kelas 1 SMP ibu.  Seperti janji saya, akan terus bersekolah."  Tapi ibu belum pernah menjawab kenapa selalu membayar lebih.  Padahal saya selalu ingat janji saya ke ibu.


Aku pun tersenyum penuh haru.  Meski rasanya hatiku teriris pedih sekali.  Membayangkan bocah kecil yang kukenal sewaktu kelas 3 SD ini ternyata memegang teguh janjinya kepadaku, notabene orang yang baru dikenalnya.  Iya, janjinya untuk terus bersekolah dan mengubah hidupnya lewat pendidikan.

"Setelah SMP, saya mau lanjut SMA dan kuliah bu.  Jika tidak dapat jalur undangan maka saya akan berjuang lewat UTBK.  Saya mau mengambil jurusan bisnis bu."  Suaranya percaya diri, dan matanya menunjukkan semangat tinggi.  Meyakini melalui pendidikan, dirinya bisa merubah kehidupan menjadi lebih baik.

Aku tertegun mendengarnya, dan rasanya ngilu.  Bayangkan bocah ini telah tahu apa dan kemana dirinya nantinya.   Mengingatkanku kali pertama mengenalnya.  Hari ketika dirinya menawarkan jajan pasar buatan emaknya.  "Dicoba bu, enak loh ini kue buatan emak.  Tenang, pasti ibu bertanya-tanya saya sekolah tidak.  Saya sekolah dulu bu.   Kemudian pulang ambil dagangan buatan emak.  Sorenya, baru deh saya belajar.  Ayo dicoba bu.  Dijamin enak dan pasti suka."

Ah...ternyata anak sekecil dirinya tidak menyerah pada keadaan.  Meskipun harus berjuang mencari rupiah demi melanjutkan hidup.  Tetapi, kesulitan tidak membuatnya berhenti bermimpi.  Justru dia membuktikan dirinya tidak hanya bermimpi.  Tetapi juga berjuang mewujudkan mimpi.

"Aku selalu kasih lebih, karena itu perjanjian loh....  Perjanjian kamu harus kuliah.  Seperti janjimu untuk terus sekolah."  Hehehe...kataku menahan airmata menjawab pertanyaannya selama ini.  Haru karena aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya bersekolah.  Aku hanya dapat memotivasi dan melebihkan pembayaranku setiap kali membeli dagangannya.

"Pasti bu!  Saya akan tepati kata-kata saya.  Saya akan buat emak dan ibu bangga.  Lihat, akan saya buktikan!  Saya mau kuliah dan belajar bisnis, supaya emak tidak susah lagi, dan hidup kami menjadi lebih baik."  Yakinnya dengan bahagia sekali.  Kami pun berpisah.

Bocah kecil yang kini sudah beranjak remaja ini adalah cerita nyata satu dari banyak impian anak Indonesia yang dikarenakan kemiskinan lalu harus memenangkan rasa lapar ketimbang pendidikan.  Bahkan tidak jarang merelakan bangku sekolah untuk mencari rupiah.  Rantai kebodohan dan kemiskinan yang terus berlanjut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Tragis, katanya negeri ini sudah merdeka 79 tahun.  Apakah iya, kita sungguh sudah merdeka?  Nyatanya kita hanya terlepas dari tangan penjajah asing.  Tetapi dilanjutkan oleh penjajahan bangsa sendiri dalam berbagai kemasan.

Para petinggi, birokrasi, peraturan dan kebijakan nyaris tidak pernah memihak kepada rakyat.  Bahkan pendidikan yang harusnya menjadi prioritas, tetapi hanyalah nomor sekian.  Ngerinya lagi, pendidikan itu sendiri saja bahkan sibuk mencari identitas.

Ganti Menteri, ganti kebijakan adalah slogan yang melekat kepada dunia pendidikan kita.  Lalu bagaimana generasi emas yang diimpikan terwujud?  Sedangkan kebijakan tidak pernah selesai dan terus menerus bongkar pasang.  Padahal pendidikan erat kaitannya dengan memutus kemiskinan.

Ironis dan tragis!  Tidak hanya kebijakan yang bergonta-ganti, dan menjadikan anak usia sekolah ibarat kelinci percobaan.  Bahkan mendidik pun seolah dilemparkan ke tangan bapak dan ibu guru.  Sementara sekarang ini para pendidik pun disibukan dengan bonus tugas administrasi.  Di sisi lain, orang tua tenggelam di kesibukannya sendiri, ataupun habis-habisan mencari rupiah demi mempersiapkan biaya kuliah yang kian menjulang tinggi mencekik.

Lingkaran keruwetan yang kusut, dan korban yang paling nyata adalah anak!  Bukankah semestinya negeri ini tidak "bermain-main" dengan pendidikan.  Sebab ini menyangkut generasi penerus bangsa.

Seharusnya pendidikan tidak menjadi beban untuk peserta didik ataupun dunia sekolah.  Sebab, seperti bocah penjual kue yang kukenal, dirinya tidak semata memikirkan sekolah dan sekolah.  Namun juga harus berjuang untuk mencari rupiah.  Begitupun, nyatanya tidak menyurutkan langkahnya untuk mewujudkan mimpi.  Mimpi untuk keluar dari garis kemiskinan.

Bandung, 25 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun