Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Ingin Kuliah

25 Oktober 2024   00:30 Diperbarui: 25 Oktober 2024   01:13 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jogja.tribunnews.com

Bocah kecil yang kini sudah beranjak remaja ini adalah cerita nyata satu dari banyak impian anak Indonesia yang dikarenakan kemiskinan lalu harus memenangkan rasa lapar ketimbang pendidikan.  Bahkan tidak jarang merelakan bangku sekolah untuk mencari rupiah.  Rantai kebodohan dan kemiskinan yang terus berlanjut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Tragis, katanya negeri ini sudah merdeka 79 tahun.  Apakah iya, kita sungguh sudah merdeka?  Nyatanya kita hanya terlepas dari tangan penjajah asing.  Tetapi dilanjutkan oleh penjajahan bangsa sendiri dalam berbagai kemasan.

Para petinggi, birokrasi, peraturan dan kebijakan nyaris tidak pernah memihak kepada rakyat.  Bahkan pendidikan yang harusnya menjadi prioritas, tetapi hanyalah nomor sekian.  Ngerinya lagi, pendidikan itu sendiri saja bahkan sibuk mencari identitas.

Ganti Menteri, ganti kebijakan adalah slogan yang melekat kepada dunia pendidikan kita.  Lalu bagaimana generasi emas yang diimpikan terwujud?  Sedangkan kebijakan tidak pernah selesai dan terus menerus bongkar pasang.  Padahal pendidikan erat kaitannya dengan memutus kemiskinan.

Ironis dan tragis!  Tidak hanya kebijakan yang bergonta-ganti, dan menjadikan anak usia sekolah ibarat kelinci percobaan.  Bahkan mendidik pun seolah dilemparkan ke tangan bapak dan ibu guru.  Sementara sekarang ini para pendidik pun disibukan dengan bonus tugas administrasi.  Di sisi lain, orang tua tenggelam di kesibukannya sendiri, ataupun habis-habisan mencari rupiah demi mempersiapkan biaya kuliah yang kian menjulang tinggi mencekik.

Lingkaran keruwetan yang kusut, dan korban yang paling nyata adalah anak!  Bukankah semestinya negeri ini tidak "bermain-main" dengan pendidikan.  Sebab ini menyangkut generasi penerus bangsa.

Seharusnya pendidikan tidak menjadi beban untuk peserta didik ataupun dunia sekolah.  Sebab, seperti bocah penjual kue yang kukenal, dirinya tidak semata memikirkan sekolah dan sekolah.  Namun juga harus berjuang untuk mencari rupiah.  Begitupun, nyatanya tidak menyurutkan langkahnya untuk mewujudkan mimpi.  Mimpi untuk keluar dari garis kemiskinan.

Bandung, 25 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun