Johnny Plate Menteri Komunikasi dan Informatika kerap mengingatkan kita tentang pentingnya literasi digital. Â Terdengarnya sederhana, namun sesungguhnya ini sebuah tanggungjawab. Â Kenapa, karena literasi digital tidak hanya berbicara kemampuan menggunakan perangkat TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Â Tetapi juga mampu memahami dan memakai informasi dari berbagai sumber dengan beradab.
Diakui kini keberadaan media sosial menjadi komunikasi canggih nan sakti bagi partai politik dalam berkomunikasi ke publik. Â Media sosial dinilai ampuh untuk mempengaruhi publik, menyerap aspirasi, komunikasi dua arah dan dapat menyampaikan pesan lebih jelas serta efektif. Â Apalagi saat ini di tengah meningkatnya suhu menjelang tahun politik.
Inilah buktinya kemajuan teknologi telah berdampak terhadap demokrasi konvensional. Â Seperti halnya elite, untuk rakyat pun ruang digital telah menjadikan demokrasi lebih ramah. Â Walaupun kerap kali demokrasi menjadi bola liar karena kebablasan.
Bayangkan belum lama seorang mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo mencuri perhatian publik karena cuitan di akun Twitter-nya, yang memperlihatkan foto stupa Candi Borobudur dengan wajah diedit menyerupai Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Pantas saja tiketnya mahal. Â Ternyata Opung sudah buat patung "I Gede Utange Jokowi" untuk tambahan dana bangun IKN," begitu tulisan di salah satu meme yang diunggah Roy Suryo. Â Dikutip dari: detik.com
Roy mengklaim dirinya hanya mengunggah ulang foto editan tersebut dilengkapi identitas akun asli pengunggah pertama. Â Kicauan yang dimaksud pun akhirnya dihapus, dan kembali menjelaskan bahwa gambar tersebut bukanlah buah karyanya.
Namun betapa menyedihkannya, apakah seorang Roy Suryo "buta" literasi digital sehingga tidak bisa menjaga ujung jempolnya? Â Sebab tidak hanya sebagai mantan menteri, dirinya juga dikenal sebagai pakar telematika, atau teknologi informasi, fotografi dan multimedia. Â Logikanya, TIK tentu ibarat minum air baginya.
Lha... apa iya dirinya tidak paham ulahnya tersebut dapat berujung kepada pasal penistaan agama. Â Kemudian juga bisa dianggap sebagai penghinaan kepada Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara. Â Kemana rasa nasionalisme, haruskah terkubur bersama kebebasan di ruang digital?
Katakanlah meme tersebut bentuk demokrasi digital kekesalan seorang rakyat karena kenaikan tiket Borobudur. Â Tetapi, apa perlunya Roy Suryo ikutan memperkeruh dengan mengunggahnya kembali dan mengotori ruang digital?
Naif jika kita berlomba mengatakan ini demokrasi! Â Ngerinya, kita dapat menjadi mata rantai yang merusak, sekaligus menyulut kebencian di negeri ini. Â Sebab demokrasi atau kebebasan berpendapat baik di ruang digital ataupun tidak tetaplah menjunjung norma dan etika yang beradab.
Berdemokrasi di ruang digital ataupun fisik, tetaplah kita berinteraksi dengan manusia. Â Lalu, sebagaimana layaknya makhluk sosial, tidak hanya terikat hukum negara. Â Tetapi juga ada norma atau aturan tidak tertulis yang melekat sebagai anak bangsa.
Berikut hal yang perlu diperhatikan ketika berdemokrasi di ruang digital, yaitu:
- Judul provokatif, jangan terjebak oleh judul yang sensasional atau provokatif. Â Sering kali isi berita merupakan saduran dari berita lain namun diubah menjadi persepsi tertentu yang diingikan pembuat hoaks. Â Tidak ada salahnya jika kita mencoba mencari refrensi dari situs resmi untuk pembanding.
- Alamat situs, di Indonesia situs yang terverikasi sebagai institusi media resmi kurang lebih hanya 300, dari 43,000 situs.
- Jadilah kritis, pastikan berita memang valid, prioritaskan pola pikir logis dan cek ulang data saintifiknya.
- Periksa fakta, kita harus bisa membedakan antara fakta dan opini.
- Cek keaslian foto dan video, kini tidak hanya teks yang dapat diedit. Â Tetapi foto dan video juga bisa dimanipulasi menjadi hoaks.
- Saring sebelum sharing, berhenti dan jangan menjadi bagian mata rantai penyebar hoaks. Â Oleh karenanya saring terlebih dahulu sebelum sharing.
Apakah halu jika merindukan kembali bangsa ini santun dalam bertutur. Â Sebagai bangsa yang lekat dengan etika, kini berpulang kepada niat, sikap dan prilaku yang etis dalam berinteraksi. Â Pertanyaannya, bisakah kita berpikir sebelum bersuara atau bertindak?
Rasanya tidak sulit jika demokrasi di ruang digital pun kita mengontrol jari dan jempol sebelum menyampaikan suara lewat postingan di media sosial. Â Pikir dan pertimbangkan bahwa postingan kita tersebut dilihat, dibaca dan diketahui oleh orang lain.
Singkatnya, sekalipun demokrasi dilakukan dalam ruang digital tetap pergunakan logika. Â Jangan kita kehilangan etika sehingga berujung matinya demokrasi yang sehat. Â
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H