"Dek Nana, aku lebih dari sayang ke kamu dek. Â Maafkan, tidak seharusnya aku memiliki rasa ini ke kamu Na. Â Aku seharusnya menjaga hati ini. Â Sayang yang harusnya sebagai kakak, dan bukan membiarkan menjadi cinta. Â Kamu masih SMA, terlalu muda untukku dek."
Nana terdiam, malu dan bingung harus mengaku apa. Â Tidak mungkin dirinya mengatakan tidak memiliki rasa yang sama. Â Nana memilih untuk sibuk, menggunting dan melipat kertas berwarna menjadi bintang.
"Aku sudah memutuskan untuk menerima perjodohan dari ibu. Â Perempuan yang usianya sebaya denganku. Â Masih kerabat jauh, dan aku sudah mengenalnya dari kecil. Â Jika dek Nana berkenan, aku mau memperkenalkan dia ke kamu dek. Â Dia sudah tahu tentang kamu, aku yang bercerita. Â Dengar dek, masa depanmu masih panjang. Â Ada cinta dari laki-laki yang tepat menanti, tetapi itu bukan aku. Â Kamu berhak mendapatkan cinta terbaik." Â Suara Bang Piko parau, dan kali ini menghentikanku. Â Berlahan airmata membasahi kertas lipat berwarnaku.
"Iya, aku mencintaimu dek Nana. Â Kamu tidak salah mengartikan perhatian dan sayang yang aku berikan selama ini. Â Aku yang salah mencintai kamu yang seharusnya aku jaga sebagai adek." Â Tersedak menahan tangis suara Bang Piko mencoba menyelesaikan setiap katanya.
Terdiam dan hancur Nana. Â Detak jantungnya kini terhenti, rasa sakit di hatinya begitu menyayat. Â Dipandangnya mata lelaki yang telah melukai hatinya itu. Â Namun, dibiarkan tangan lelaki itu menghapus airmatanya penuh cinta.
Sore itu menjadi kali terakhir vespa tua Bang Piko mengantar Nana pulang.
Tidak ada satu pun kata terucap dari keduanya. Â Namun mata itu jelas cinta. Â Kali terakhir Nana menatap mata Bang Piko yang berkaca.Â
Cinta terlarang yang tak seharus tumbuh dan bersemi.
Jakarta, 18 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H