Tentunya untuk ke Bali perjalanan kami lakukan bertahap, dari Jakarta biasanya kami bermalam di Jogya yang kini terasa begitu dekat sejak mulusnya jalan tol. Â Kemudian lanjut ke Surabaya, dan juga bermalam beberapa hari, barulah kemudian ke Banyuwangi dan langsung menyebrang menuju Pulau Dewata.
Bahkan perjalanan terakhir kami adalah menyusuri Trans Sumatra. Â Sebenarnya bukan kali pertama keluarga kecilku menyebrang Sumatra. Â Tetapi biasanya kami hanya sampai Kota Lampung. Â Barulah sebelum pandemi kemarin, beruntung kami berkesempatan menyusuri tol Sumatra hingga Jambi. Â Tepatnya, perjalanan darat terakhir kami, Jakarta -- Lampung -- Pekanbaru -- Palembang -- Jambi -- Jakarta. Â Perjalanan 2 minggu yang kami lalui semuanya dengan melewati tol.
Tetapi untuk perjalanan ke Sumatra terakhir kemarin ada hal-hal khusus yang harus diperhatikan. Â Sekalipun melewati tol, suamiku memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan malam hari ketika melewati daerah-daerah tertentu. Â Pertimbangannya adalah menghindari kemungkinan kejahatan.
Ini bukan mengada-ada karena kami bertemu dengan korban di rest area yang kaca mobilnya dilempari telur. Â Pertanyaannya, untuk apa?
Menurut suamiku kejadian seperti ini biasa dilakukan oleh peduduk sekitar di daerah rawan kejahatan. Â Tujuannya agar kendaraan pribadi yang melintas berhenti di bahu jalan, dan disaat itulah terjadi kejahatan perampokan atau pemerasan.
Ngeri sedap berlibur dengan berkedaraan di tol memang. Â Kondisi jalanan yang mulus kadang menjadi jebakan sebagian pengemudi asyik ngebut. Â Bukan sekali, dan sudah banyak kali sepanjang perjalanan liburan kami melihat berbagai kecelakaan. Â Dimulai dari truk gandeng terbalik, tabrakan beruntun hingga mobil terbakar.
Bahkan pernah di satu liburan ketika libur lebaran, perjalanan kami dibuat kaget. Â Kami begitu kaget melihat jalan tol sangat padat, sehingga beberapa kendaraan memilih keluar jalur melewati jalan kota kecil di sekitar, termasuk juga kendaraan kami. Â Sayangnya tetap saja kena antrian kemacetan karena memang begitulah libur lebaran rupanya.
Tetapi yang membuat jantung kami nyaris berhenti ketika mobil di depan kami tidak bergerak. Â Sementara suamiku sudah membunyikan klason dengan terpaksa. Â Tetapi tidak bergeming, dan mobil di belakang kami pun sudah ikut ramai membunyikan klakson.
Halu sudah dipastikan ada di benak kami sekeluarga, termasuk anak-anak. Â "Jangan-jangan yang menyetir pingsan, atau jangan-jangan terkena serangan jantung," demikian kata mereka.
Aku lupa persisnya tahun berapa, tetapi liburan lebaran waktu itu memang sangat melelahkan dengan kemacetannya parah. Â Samar dari belakang kami melihat si pengemudi yang hanya sendirian tertelungkup di stirnya.
Bayangkan, lewat 5 menit suara ramai klakson tidak membangunkannya. Â Lalu, tiba-tiba seseorang dari mobil di belakang mobil kami terlihat menghampiri dan mengetuk kaca mobil tersebut cukup kencang. Â Mungkin karena sudah kesal, dan mungkin juga agar si pengemudi terbangun. Â Kaget, dan bersyukur ketika pengemudi tersebut terbangun. Â Singkat cerita setelah percakapan singkat, kendaraan di depan kamipun bergerak.