Ini cerita lama ketika aku masih kelas 7 di sebuah sekolah swasta khusus putri yang letaknya di daerah Lapangan Banteng, Jakarta. Â Ceritanya berawal dari kegiatan study tour ke Bali yang diadakan sekolah. Â Ketika itu kami menggunakan bis, dan sudah bisa ditebak suasana pasti seru, karena siapa sih yang tidak senang ke Bali.
Seingatku sebelum berangkat telah diwanti-wanti oleh suster (Biarawati) yang juga ikut bersama kami, agar menghormati budaya Bali. Â Kami diceritakan tentang sajen yang akan banyak ditemui di Bali dan juga Leak yang dipercaya sebagai makluk jadi-jadian. Â Singkat ceritanya Suster meminta kami menjaga tutur kata dan prilaku selama berwisata di Bali nanti.
Maka sampailah kami di Bali sudah cukup larut. Â Kami kemudian menempati kamar masing-masing, dan kalau tidak salah 1 kamar diisi 3 orang. Â Aku sendiri begitu dapat kamar memilih langsung mandi. Â Jujur jalan darat membuat aku merasa jorok, dan aku merasa tidak nyaman. Â Sehingga ketimbang menikmati makan malam yang dibagikan di teras kamar, aku memilih masuk kamar dan mandi.
"Ehhmm...segar dan ini baru mantap menikmati makan malam." Â Kataku dalam hati sambil duduk di teras sendirian menikmati nasi kotak jatahku. Â Sementara teman-temanku sudah kembali ke kamar beristirahat. Â Cukup larut memang, kalau tidak salah ingat sudah lewat tengah malam.
Seekor kucing hitam melintas di teras entah darimana. Â Semula tidak jadi masalah karena aku asyik menikmati nasi kotak. Â Tetapi, isi kepala ini mulai halu ketika aku merasa ada mata yang terus mengawasiku. Â Bulu kudukku pun mulai tegang.
Kemudian lututku pun lemas seketika saat aroma bunga tercium santer. Â Bagaimana mungkin mendadak ada aroma bunga di tengah malam. Â Bersamaan itu pula mataku beradu dengan dua mata di tengah gelap. Â Mata itu milik kucing hitam yang melintas tadi. Â Menurutku, matanya tidak seperti umumnya mata kucing. Â Horornya, dia hanya diam tegak mematung memandangku tajam.
Lututku memang lemas, tetapi rupanya aku masih punya energi berlari langkah seribu masuk kamar dan bersembunyi di bawah selimut sahabatku. Â "Woi....ganggu lu!" teriaknya.
"Gu...gu...gua...sepertinya ketemu leak. Â Gu...gua.........." Â Kataku ketakutan menceritakan kucing hitam dan aroma bunga kepada kedua temanku yang kini terbangun. Â Maka kami bertiga akhirnya berada di satu tempat tidur yang sama dan ketakutan sepanjang malam.
Pagi pun tiba, dan kami akan mengunjungi tempat wisata pemandian Tirta Empul. Â Pengalaman semalam menjadi rahasia bertiga. Â Tidak kami ceritakan kepada guru ataupun suster. Â Meskipun begitu, diantara kami berbisik membahas dan mencari tahu. Â Apakah yang aku lihat semalam kucing hitam biasa, ataukah itu jelmaan leak. Â Jika hanya kucing, kenapa matanya terus mengawasiku, dan kenapa mendadak ada aroma bunga.
Sepakat sepanjang perjalanan, aku dan kedua sahabatku memilih untuk menjaga tutur kata serta prilaku. Â Memperhatikan langkah agar tidak menginjak sajen yang kadang tergeletak di jalan. Â Termasuk mulut ini juga dijaga ketika memasuki Pura Tirta Empul. Â Kami benar-benar trauma dengan kejadian semalam.
Sejenak aku pun lupa kejadian semalam, terhipnotis dengan keindahan Bali. Â Sehingga seperti juga anak remaja lainnya, kami bertiga larut sibuk jepret sana sini. Â Termasuk selfie ataupun saling minta tolong diphoto. Â Aku sendiri lebih memilih latar belakang pura karena aku sangat suka seni dan budaya Bali. Â Tetapi dikarenakan di zaman itu belum ada gadget, sehingga untuk hasil photo harus dicuci di photo studio.
Disinilah horor itu kembali menghantui aku dan 2 sahabatku. Â Pulang sekolah dengan antusias kami mengambil hasil cetak di studio photo Pasar Baru. Â Tetapi tawa kami, atau lebih tepatnya tawaku berubah menjadi takut. Â Di salah satu photo terdapat photo hitam putih aku bersama ibu tua dan 2 orang anak lelaki. Â Photo tersebut menggambarkan di masa lalu sekitar tahun 1800 an, sehingga sangat tua
Aku bersama "mereka" berfoto di depan sebuah rumah tua milik rakyat gaya Bali di zaman dulu. Â Bahkan si ibu dan dua anak ini bukan berasal dari zamanku. Â Gaya berpakaian mereka adalah gaya orang Bali zaman dulu. Â Si ibu dengan kemben nyaris melorot, dan kedua anak lelaki dengan telanjang dada. Â Seramnya, aku bersama mereka berdiri berjejer di depan rumah tersebut. Â Aku dengan wajahku tersenyum. Â Sedangkan mereka datar dengan mata tajam lurus ke depan tanpa ekspresi.
Bersama kedua sahabatku kami begitu ketakutan. Â Si pemilik studio saja penasaran dan sempat bertanya kenapa photo tersebut ada bersama kami. Â Singkat cerita kami bertiga tidak berani membuang photo tersebut. Â Cerita kucing hitam kembali ada dibenak kami. Â Tetapi karena di lembar photo tersebut ada photo diriku, maka akulah yang diminta membawa lembar photo ghaib tersebut pulang.
Bertahun-tahun photo tersebut aku simpan di laci lemari pakaian. Â Tidak ada sedikitpun nyaliku untuk membuangnya. Â Bahkan ketika aku akhirnya pindah sekolah karena mutasi orang tua, photo tersebut tetap aku simpan rapi. Â Terkadang kedua sahabatku menanyakan apakah photo tersebut masih ada, dan apakah sudah cukup aman untuk membuangnya. Â Tetapi, kembali keberanian itu belum ada.
Photo ghaib begitu nama yang kami berikan kepada photo hitam putih tersebut. Â Tetap bertanya diantara kami, mereka ini siapa dan ini photo apa. Â Apakah mereka ini dari zaman dahulu, atau mereka ini hantu? Â Lalu kenapa aku berada bersama mereka, dan dimana persisnya photo ini diambil.
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Â Tetapi, akhirnya ketika aku menginjak usia dewasa, dan ketika aku sudah semakin kuat di dalam iman. Â Maka photo ghaib itu aku ambil dari laci. Â Tetap menyimpan cerita mistis yang sama. Â Terdapat diriku ketika remaja kecil bersama "mereka" di tempat yang ghaib menurutku.
Butuh lebih dari 10 tahun keberanian itu datang. Â Berbekal bertumbuh dan semakin kuatnya iman sesuai keyakinanku, aku berdoa meminta Dia menyertaiku. Â Aku tidak mau dihantui oleh photo ghaib tersebut, dan memutuskan untuk membakarnya.
Puji Tuhan, tidak ada kejadian horor setelah pembakaran tersebut. Â Meski pertanyaan tentang photo tersebut tidak pernah terjawab hingga kini.
Jakarta, 29 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H