Sejenak aku pun lupa kejadian semalam, terhipnotis dengan keindahan Bali. Â Sehingga seperti juga anak remaja lainnya, kami bertiga larut sibuk jepret sana sini. Â Termasuk selfie ataupun saling minta tolong diphoto. Â Aku sendiri lebih memilih latar belakang pura karena aku sangat suka seni dan budaya Bali. Â Tetapi dikarenakan di zaman itu belum ada gadget, sehingga untuk hasil photo harus dicuci di photo studio.
Disinilah horor itu kembali menghantui aku dan 2 sahabatku. Â Pulang sekolah dengan antusias kami mengambil hasil cetak di studio photo Pasar Baru. Â Tetapi tawa kami, atau lebih tepatnya tawaku berubah menjadi takut. Â Di salah satu photo terdapat photo hitam putih aku bersama ibu tua dan 2 orang anak lelaki. Â Photo tersebut menggambarkan di masa lalu sekitar tahun 1800 an, sehingga sangat tua
Aku bersama "mereka" berfoto di depan sebuah rumah tua milik rakyat gaya Bali di zaman dulu. Â Bahkan si ibu dan dua anak ini bukan berasal dari zamanku. Â Gaya berpakaian mereka adalah gaya orang Bali zaman dulu. Â Si ibu dengan kemben nyaris melorot, dan kedua anak lelaki dengan telanjang dada. Â Seramnya, aku bersama mereka berdiri berjejer di depan rumah tersebut. Â Aku dengan wajahku tersenyum. Â Sedangkan mereka datar dengan mata tajam lurus ke depan tanpa ekspresi.
Bersama kedua sahabatku kami begitu ketakutan. Â Si pemilik studio saja penasaran dan sempat bertanya kenapa photo tersebut ada bersama kami. Â Singkat cerita kami bertiga tidak berani membuang photo tersebut. Â Cerita kucing hitam kembali ada dibenak kami. Â Tetapi karena di lembar photo tersebut ada photo diriku, maka akulah yang diminta membawa lembar photo ghaib tersebut pulang.
Bertahun-tahun photo tersebut aku simpan di laci lemari pakaian. Â Tidak ada sedikitpun nyaliku untuk membuangnya. Â Bahkan ketika aku akhirnya pindah sekolah karena mutasi orang tua, photo tersebut tetap aku simpan rapi. Â Terkadang kedua sahabatku menanyakan apakah photo tersebut masih ada, dan apakah sudah cukup aman untuk membuangnya. Â Tetapi, kembali keberanian itu belum ada.
Photo ghaib begitu nama yang kami berikan kepada photo hitam putih tersebut. Â Tetap bertanya diantara kami, mereka ini siapa dan ini photo apa. Â Apakah mereka ini dari zaman dahulu, atau mereka ini hantu? Â Lalu kenapa aku berada bersama mereka, dan dimana persisnya photo ini diambil.
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Â Tetapi, akhirnya ketika aku menginjak usia dewasa, dan ketika aku sudah semakin kuat di dalam iman. Â Maka photo ghaib itu aku ambil dari laci. Â Tetap menyimpan cerita mistis yang sama. Â Terdapat diriku ketika remaja kecil bersama "mereka" di tempat yang ghaib menurutku.
Butuh lebih dari 10 tahun keberanian itu datang. Â Berbekal bertumbuh dan semakin kuatnya iman sesuai keyakinanku, aku berdoa meminta Dia menyertaiku. Â Aku tidak mau dihantui oleh photo ghaib tersebut, dan memutuskan untuk membakarnya.
Puji Tuhan, tidak ada kejadian horor setelah pembakaran tersebut. Â Meski pertanyaan tentang photo tersebut tidak pernah terjawab hingga kini.
Jakarta, 29 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H