Tetiba aku teringat satu dari rangkaian masa kecilku. Aku mengatakannya rangkaian, karena beruntungnya diriku menghabiskan masa kecil di banyak tempat. Â Semua kenangan itu membentukku menjadi manusia yang menurutku sih cukup fleksibel. Â Tuntutan keadaanlah yang membentuk diriku, kira-kiranya begitu.
Termasuk saat tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur. Â Kota yang berada menyusuri pantai, sekaligus dikenal dengan sebutan Kota Minyak. Â Sebab Balikpapan memang dikenal sebagai propinsi penyumbang minyak cukup besar di Indonesia. Â Tidak heran, dan jangan ditanya bagaimana panasnya kota ini. Â
Belum lagi kondisi tanahnya yang berpasir, dan udara panas yang dipancarkan dari perut bumi. Wuihhh.....sedaplah menurutku ketika itu. Â Jika membandingkan dengan Pulau Jawa, Kota Jakarta tempat aku dilahirkan. Â Jujur, rasanya aku ingin menjerit tidak betah.
Aku ingat, air menjadi permasalahan utama hari-hari kami. Â Tidak tahu kondisi Balikpapan kini. Â Tetapi dulu, untuk mendapatkan air bersih maka kami harus membeli. Â Itulah yang dilakukan mama, membeli air hingga berderigen-derigen. Â Sayangnya aku lupa berapa harganya. Â Tetapi untuk memenuhi kebutuhan mandi dan masak, semua dibeli.
Seingatku, warna airnya ketika itu hijau telur asin. Â Bahkan aromanya pun menyengat bau telur asin! Â Sangat bisa jadi ini mungkin karena penghasil minyak sehingga mempengaruhi kualitas air tanahnya.Â
Paham dong, bagi kami yang biasa tinggal di Pulau Jawa, kondisi ini enggak bangetlah. Â Padahal, kondisi ini adalah kondisi sehari-hari. Â Bayangkan ketika musim kemarau tiba. Â Jujur, tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Jelas panas makin menusuk, tetapi mungkin bisa diselamatkan dengan masuk kamar hidupkan pendingin ruangan (AC). Â Persoalannya bagaimana dengan air yang makin menjadi langka, dan kamipun terkondisikan harus berhemat. Â Di saat kemarau datang maka kami terpaksa mandi air tanah yang berwarna hijau dan beraroma telur asin. Â Sedangkan air yang dibeli dihemat untuk kebutuhan masak dan air minum.
Musim kemarau juga selalu identik dengan kebakaran hutan di Kalimantan. Â Jika ini terjadi, makin lengkaplah keseruan kami. Â Polusi udara dari kebakaran hutan bercampur panasnya kota minyak itu sesuatu sekali.Â
Tetapi apakah musim hujan menjadi lebih baik? Â Heheh...enggak juga, karena kegundulan hutan menyebabkan kami sering terdampak banjir. Â Jika begini berujung air dengan aroma laut dan telur asin masuk ke rumah. Â Bau anyir akan tinggal cukup lama, dan mengganggu sekali.
Ini bukan "deritaku" saja, tetapi juga kedua adikku yang dengan susah payah mencoba melewati hari demi hari di kota ini pada awalnya. Â Maklumlah kami masih kecil ketika itu.
Seru dan meriah jika aku mengingatnya kembali kini. Â Tidak terasa 5 tahun kulewati di Kota Balikpapan. Â Seiring waktu aku belajar menyesuaikan dengan keadaan, dan menurutku itu seru. Â Mensyukuri kemarau dan hujan sama baiknya. Â Nyatanya, aku jatuh cinta terhadap kota ini.
Mungkin jika bukan dikarenakan tinggal di Balikpapan, aku tidak tahu mensyukuri keberadaan air. Â Sebab air berlimpah di pulau Jawa, setidaknya jauh lebih baik dari kemudahan dan kualitasnya.
Jika bukan karena Balikpapan, maka aku tidak tahu mensyukuri panas menyengat. Â Sebab, perjalanan hidup pernah membawaku jauh ke negeri orang. Â Dimana dingin justru berbalik menusuk tulang.
Kesimpulannya aku sih, hujan tanpa kemarau adalah hambar, demikian juga sebaliknya. Â Tidak ada yang salah dari kedua musim ini. Â Semuanya berpulang dari cara kita mempersiapkan kedatangan setiap musim, dan cara kita menjaga bumi.
Jakarta, 6 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H