"Tan.., doain aku menang yah, sore nanti aku tanding." Â Teriakan bocah remaja sahabat putriku sekitar 5 tahun lalu di parkiran sekolah kami. Â Ingat sekali diriku, dengan nada bahagia dan penuh semangatnya. Â
Maklum hubungan kami cukup dekat, sudah seperti anak sendiri. Â Aku juga sering menonton setiap pertandingan futsal mereka, baik di sekolah kami maupun di tempat lain. Â Mereka tiga jagoanku, dan Marcel nama anak ini salah satu diantaranya.
Tetapi cerita berubah dalam sekejap ketika siang itu berubah menjadi kabar duka. Â Marcel kehilangan papa yang dicintainya. Â Sementara mamanya telah lebih dulu dipanggil karena sakit ketika dirinya masih kelas 4 SD. Â
Aku terdiam, karena begitu cepat sukacita menjadi dukacita. Â Begitu berat kehidupan yang harus dijalani anak ini nantinya. Â
Tetapi itulah kehidupan, sepenggal cerita yang menjadikan kami semakin dekat.
Teringatnya dulu ketika masih di SD didatanginya aku, "Tan, aku nanti mau jadi atlet saja. Â Aku mau fokus di bola saja, masuk klub." Â Heheh...jujur harus aku akui, anak ini memang berbakat. Â
Bahkan sangat berbakat untuk menjadi pemain bola professional. Â Permainan bolanya lincah, dan jago mencetak gol.
"Mending jangan deh, mending juga kamu lanjut SMP, terus SMA dulu deh," kataku. Â Aku memang bukan mamanya. Â Tetapi menurutku, di Indonesia pilihan hidup menjadi atlet tidaklah menjanjikan. Â Kenyataanya selembar ijazah dan gelar kesarjanaan lebih menjamin masa depan.
Itulah obrolan kami ketika SD, sebelum kenyataan pahit harus ditelan ketika Marcel kehilangan ayahnya. Â Sebagai seorang ibu, aku sangat bisa memahami rasa kehilangannya. Â
Tetapi luarbiasa, anak ini begitu tangguh. Â Dia tetap menjalani harinya penuh semangat, termasuk kecintaanya pada bola. Â "Tan, aku masuk U 15 dong," katanya "pamer' sambil tersenyum bahagia.