Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Jurus Asyik Kerja di Lingkungan Toksik

23 Mei 2021   04:19 Diperbarui: 23 Mei 2021   04:24 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lingkungan kerja toksik jamaklah.  Jangankan di lingkungan kerja, yang hanya bagian dari kehidupan manusia bersosialisasi.  Di keseharian atau keluarga sekalipun kita pasti menemui orang-orang "beracun" alias toksik yang bisa mempengaruhi kita.  Baik itu secara emosional maupun cara pandang, dan bukan tidak mungkin menjerumuskan kita.

Pengalaman pribadiku ketika bergabung di sebuah konsultan yang kebetulan mempunyai divisi Production House khusus menangani program-program promosi dari kantor tempatku bekerja.  Heheh.... ngakak ketika kali pertama menyadari beberapa kejanggalan yang selama ini jadi tanda tanyaku di bulan pertama bergabung.

"Maaf ....(kataku menyebut sebuah nama) kemarin aku tidak datang ke acara pernikahan kamu,  Habis acaranya malam sih, dan heheh....aku tidak diizinkan nyokap bokap (orang tua)" kataku waktu itu sebagai anak baru kepada rekan di Production House.  Lalu kedua pasang pengantin baru (menurutku) terlihat ramah memaafkanku.  "Enggak apa-apa say, doain langgeng aja," sahut si cowok sambil tersenyum ramah.  Kemudian keduanya mesra meninggalkanku karena mengejar jadwal rapat di sebuah perusahaan yang menyewa jasa konsultan kami.  "Eike...cabut dulu yah say," pamit keduanya.  Aku pun merasa lega karena sebagai anak baru tidak bikin ulah pikirku.

"Heii...untung situ nggak datang, sebab kalau datang bisa pingsan," suara bisik seniorku sambil tersenyum penuh arti.

OMG mungkin itu ungkapan zaman sekarang saat seniorku menjelaskan kondisi "janggal" yang butuh akal sehatku.  Hahah...percaya atau tidak, tetapi pasangan pengantin yang tidak aku hadiri acaranya itu ternyata pasangan sejenis, alias lesbong atau lesbian.  Kesimpulannya, pengantin yang aku kira cowok itu ternyata cewek!  What....doski bukan cowok ori coy!  Keduanya melangsungkan pernikahan bukan di Indonesia, dan acara yang tidak aku hadiri itu semacam resepsi.  Ngerinya (ketika itu) di acara tersebut dihadiri kebanyakan dari komunitas mereka, tepatnya kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender)!

Dubrakkk!!!  Kaget, yailahh...karena hari-hari selanjutnya aku semakin terkejut-kejut.  Tidak semua yang terlihat lelaki itu laki-laki, dan tidak semua yang cewek itu perempuan.  Semua menjadi kompleks karena yang casing cowok sekalipun bertingkah feminim, dan yang cewek justru ada yang macho.

Serius aku bingung sendiri awalnya  ketika berada ditengah komunitas mereka.  Padahal sebagai Private Secretary Pak Bos ekspat aku dituntut untuk bekerjasama dengan divisi production.  Maka tidak ada jalan lain kecuali aku mencoba beradaptasi dengan lingkungan, dan tetap menjadi diriku.  Rasanya sudah menjadi rahasia umum di kehidupan production house penuh letupan seperti ini.

Bukan saja kehidupan mereka yang janggal bagiku.  Tetapi aku "terkondisikan" terbiasa dengan bahasa-bahasa atau cara becandaan mereka yang sering sekali vulgar.  Pernah satu waktu aku diundang ke sebuah acara ulang tahun di daerah bergengsi Kemang.  Aku tidak bisa menolak, karena para ekspat hadir semua, dan aku bersama mereka.  Bak disamber gledek, semua tamu-tamunya aneh bin ajaib.  Makin kisruh saat acara buka kado.  Kado-kado mengerikan, dan aku malu setengah modar sehingga menutup mata.  "Gokil kataku dalam hati, apa mereka tidak punya urat malu yah?  Gelooo....ini toksik akut!"  Ehhhmmm...tidak perlu aku tulis disinilah yah kado-kadonya.

Sebenarnya jika mau dibikin ruwet, bisa sangat runyam diriku saat itu.  Sebagai Private Secretary saja tugasku cukup parah, karena jika mengejar tender ataupun membantu Production House, aku dituntut kerja hingga subuh.

Ini ibarat makan nasi goreng tambah telor dadar, kerja lemburku tambah gurih.  Bayangkan, terkadang aku harus lembur bersama "mereka" yang kebetulan juga lembur.  Lalu terkadang juga justru aku ini lembur mengerjakan proyek bersama "mereka" dan segala tingkah polahnya!  Ini ngeri sedap kawan awalnya!

Hahah... meski seiring waktu aku sadar ternyata mereka adalah orang-orang yang baik, dan sangat baik.  Mereka sangat menghormati aku, dan menerima cara pandangku dengan pilihan hidup mereka.  Sehingga sepanjang hubungan pekerjaan, mereka sangat professional.  Tidak mencampur adukan antara tanggungjawab pekerjaan dengan pilihan hidup mereka sebagai LGBT.  Mereka menjalani kehidupan ala mereka, dan aku tetap menjadi diriku sendiri.  Tidak peduli mereka mau seaneh atau sejanggal apapun.

Inilah yang membuat hari-hari kerjaku berubah menjadi asyik.  Bahasa keseharian mereka seperti kata ce (sebutan untuk teman cewek), lekong (laki), cucok (cocok), nek (oma), bences (banci), ember (iya), ember (setuju), giling, mak, kamse, trimse menambah kosa kataku yang bikin mules.  Selain mereka ini kreatif, lucu, menyenangkan, dan parahnya lagi karena kebanyakan sering latah.

Pengalaman inilah yang membuatku ingin berbagi cara asyik jika "mungkin" kita merasa bekerja di lingkungan toksik:

  1. Menjadi toksik atau tidak adalah pilihan.
  2. Jangan menghakimi.
  3. Hormati, dan beradaptasilah dengan lingkungan di mana kita berada.
  4. Jadilah diri sendiri, dan bertanggungjawablah.
  5. Tumbuhkan sikap empati dan simpati.
  6. Jangan mudah menyerah dan putus asa.
  7. Belajarlah untuk bersyukur dan menghargai pekerjaan kita.
  8. Bergaul dan bertemanlah sebanyak mungkin.
  9. Bersikap atau ciptakanlah semangat kerja yang positip.
  10. Ubah cara pandang lebih luas.

Berpuluh tahun sudah berlalu, dan sejauh ini aku tetap bersahabat dengan beberapa dari mereka, meski kami sudah terpencar pindah kerja seiring waktu berjalan.

Inilah pengalamanku, dan mungkin orang lain berpendapat mereka toksik karena berbeda dengan kehidupan kita.  Tetapi itulah mereka, karena dunia memang beragam.  Sebab jujur bagiku tiga tahun bekerjasama dengan mereka, adalah salah satu pengalaman kerjaku yang berharga.

Menurutku, bukan hak kita menilai dan menghakimi.  Mengenal dan bergaul dengan lingkungan toksik tidak serta merta membuat kita teracuni.  Pilihan itu ada pada kita, kita yang menentukan terbawa arus lalu terjerumus, atau tetap menjadi diri kita sendiri dan berprestasi.

Jakarta, 23 Mei 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun