Inilah yang membuat hari-hari kerjaku berubah menjadi asyik. Â Bahasa keseharian mereka seperti kata ce (sebutan untuk teman cewek), lekong (laki), cucok (cocok), nek (oma), bences (banci), ember (iya), ember (setuju), giling, mak, kamse, trimse menambah kosa kataku yang bikin mules. Â Selain mereka ini kreatif, lucu, menyenangkan, dan parahnya lagi karena kebanyakan sering latah.
Pengalaman inilah yang membuatku ingin berbagi cara asyik jika "mungkin" kita merasa bekerja di lingkungan toksik:
- Menjadi toksik atau tidak adalah pilihan.
- Jangan menghakimi.
- Hormati, dan beradaptasilah dengan lingkungan di mana kita berada.
- Jadilah diri sendiri, dan bertanggungjawablah.
- Tumbuhkan sikap empati dan simpati.
- Jangan mudah menyerah dan putus asa.
- Belajarlah untuk bersyukur dan menghargai pekerjaan kita.
- Bergaul dan bertemanlah sebanyak mungkin.
- Bersikap atau ciptakanlah semangat kerja yang positip.
- Ubah cara pandang lebih luas.
Berpuluh tahun sudah berlalu, dan sejauh ini aku tetap bersahabat dengan beberapa dari mereka, meski kami sudah terpencar pindah kerja seiring waktu berjalan.
Inilah pengalamanku, dan mungkin orang lain berpendapat mereka toksik karena berbeda dengan kehidupan kita. Â Tetapi itulah mereka, karena dunia memang beragam. Â Sebab jujur bagiku tiga tahun bekerjasama dengan mereka, adalah salah satu pengalaman kerjaku yang berharga.
Menurutku, bukan hak kita menilai dan menghakimi. Â Mengenal dan bergaul dengan lingkungan toksik tidak serta merta membuat kita teracuni. Â Pilihan itu ada pada kita, kita yang menentukan terbawa arus lalu terjerumus, atau tetap menjadi diri kita sendiri dan berprestasi.
Jakarta, 23 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H