Setiap malam natal seperti cemeti yang mencambuk, dan merobek hati Dinda. Â Airmatanya jatuh memandangi wajah sukacita mereka yang datang untuk beribadah. Kakinya terasa begitu berat untuk melangkah ke sana. Â Padahal gereja itu adalah rumahNya.
Pikirannya lalu melayang, "Dinda kecil yang selalu rajin sekolah minggu. Â Dinda remaja, yang selalu aktif pelayanan. Â Ahhh...Kemana Dinda?" tanyanya pada diri sendiri.
"Aku temani kamu, tetapi aku menunggu di luar," suara Bayu lembut sambil memberikan sehelai tisue.
Dinda tidak menjawab, dan dihapusnya airmata rindu itu. Â Tiga tahun sudah Dinda tidak berani menghadiri kebaktian malam natal. Â Batinnya bergejolak sejak hatinya tidak bisa menolak cinta Bayu, kakak kelasnya di kampus. Â Tetapi, perbedaan keyakinan membuat cinta mereka seperti bom waktu.
"Nggak, biar besok saja aku bergereja dengan mama dan papa," sahut Dinda pelan. Â Jawaban yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Malam berlalu, dan kini Dinda sendiri di dalam kamarnya. Â Entah kenapa kali ini hatinya hancur, dan ada sedih tak seperti biasa. Â Dibukanya jendela kamar tidur, memandangi bintang disana terlihat satu bintang terang diantara lainnya.
"Yesus, itukah diriMu. Â Tadi aku tidak bergereja, hanya melihat rumahMu dari jauh, maaf," suara lirih Dinda, yakin bintang itu adalah Dia.
Lalu matanya menangkap bingkai foto, foto dirinya bersama Bayu. Â Tiga tahun sudah mereka merajut cinta, dan semua berjalan manis. Â Tetapi natal selalu menyiksa Dinda, walau Bayu tak berkeberatan mengantarnya bergereja. Â Hanya saja, kenapa hati merasa berdosa. Â Berdosa kepada Dia.
Bukan tidak pernah keduanya membicarakan hal ini. Â Berpikir tak seharusnya mereka jatuh cinta. Â Tetapi siapa yang bisa memilih cinta.
"Jangan bermain api jika tidak mau terbakar," begitu mama pernah berpesan. Â Perempuan bijak itu tidak melarang hubungan Dinda dan Bayu. Â Menyerahkan penuh kepada siapa Dinda memberikan hatinya. Â Justru disinilah persoalan Dinda, tidak bisa memilih antara Bayu, ataukah Yesus yang dikenalnya sejak kecil.