Kebanyakan di budaya Timur sangat lekat dengan budaya patriarki, dimana pada sistem sosial menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama. Patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.
Dominasi laki-laki tidak hanya dalam ranah politik, hukum dan ekonomi. Bahkan ikut terbawa dalam kehidupan pernikahan, dimana laki-laki "berkuasa" atas perempuan.
Tetapi seiring perjalanan waktu, dan kesetaraan gender maka terjadi pergeseran. Faktanya, di dalam kehidupan politik semakin banyak peran perempuan. Demikian juga dalam bidang pekerjaan memberikan banyak kepada perempuan untuk menjabat. Kenapa? Karena, yang dilihat adalah kualitas, kemampuan. dan bukan gender, atau jenis kelaminnya.
Inilah salah satu penyebab, semakin banyak perempuan yang belum menikah di usia matang. Alasannya tidak jauh dari, kalau sudah mapan untuk apa berkeluarga. Mereka tidak mau dipusingkan dengan urusan keluarga, dan kemungkinan pasangan yang sulit menerima keberadaan mereka. Padahal hidup bukan semata mencari status sosial dan materi, tetapi juga untuk membentuk keluarga.
Di Barat perempuan single, itu biasa. Tetapi di Timur sulit menerima perempuan mandiri yang hidup tanpa suami dan anak. Akhirnya berujung banyak pernikahan terjadi demi melangsungkan keturunan. Cara tersingkat adalah menjodohkan dengan kerabat yang sudah dikenal bobot, bibit dan bebetnya. Setidaknya inilah yang penulis ketahui dari seorang kerabat.
Di usia matangnya tidak mudah menemukan pasangan yang bisa menerima kebebasan cara berpikir dan pandangannya. Terkhusus untuk budaya Batak, pantang seorang laki-laki terusik kewibawaannya. Mungkin, hal sama juga terjadi di suku lain ketika kepala keluarga yang identik dengan laki-laki itu harus dominan dalam segalanya. Padahal di era sekarang, cara berpikir seperti ini sudah kebangetan jadul!
Faktanya, memang sulit untuk laki-laki Indonesia menerima perempuan lebih unggul dari mereka. Tidak jarang dalam pernikahan pun ada tuntutan nantinya berhenti berkarir demi anak.
Keputusan gegabah yang mungkin akan berujung penyesalan apalagi jika sebelumnya si perempuan sudah mempunyai posisi lebih baik. Kembali, terkadang tuntutan keluarga dan adat menyudutkan.
Tidak mudah untuk menemui pendamping yang menerima perempuan lebih unggul dari laki-laki. Tetapi, tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin. Buktinya, kerabat penulis bisa mendapatkan pendamping yang bisa menerima kondisi kesenjangan penghasilan diantara mereka.
Mungkin beberapa kunci yang bisa jadi pertimbangan adalah:
- Menyadari bahwa pernikahan adalah untuk membentuk keluarga
- Bahwa di dalam pernikahan dua sudah menjadi satu
- Kedua pasangan sudah saling mengenal kondisi masing-masing dengan baik, dan siap menerima kelebihan, sekaligus kekurangan tanpa syarat.
- Kedua keluarga pasangan juga saling mengenal dan menerima
- Menyadari bahwa pernikahan adalah juga antara dua keluarga, dan bukan hanya 2 manusia
- Menghormati laki-laki sebagai kepala keluarga, dan imam
- Bahwa seorang laki-laki harus memiliki penghasilan, terlepas besar kecilnya
- Menempatkan istri sebagai pendamping yang sejajar, dan tiang doa untuk keluarganya
- Bahwa seorang perempuan harus menjadi istri dan ibu yang baik sekalipun berkarir
- Menjalin komunikasi dan keterbukaan dalam pernikahan
- Budayakan saling mendengar, menghargai, dan menempatkan rasa hormat kepada pasangan
- Kendalikan diri jika terjadi perbedaan pendapat
- Jangan padamkan cinta, dan lupa kasih mula-mula ketika pertama bertemu
- Terakhir, yang terutama adalah tempatkan Tuhan di dalam pernikahan
Faktanya mengarungi pernikahan ibarat menyebrang lautan dengan berbagai hantaman ombak dan cuaca yang silih berganti. Dibutuhkan kerjasama nakhoda kapal, sang suami dengan awaknya sang istri agar biduk pernikahan berjalan aman. Saling mendukung, dan memotivasi diantara kedua pasangan sangatlah penting untuk mencapai tujuan kebahagiaan pernikahan.
Tidak perlu ada yang merasa rendah diri karena penghasilan dibawah sang istri, ataupun tidak perlu sang istri merasa tinggi hati karena lebih mapan. Pada akhirnya biduk pernikahan tidak bisa berjalan dengan ego dan kesombongan. Tetapi, bisa berjalan jika ada kerjasama, komunikasi, saling mengharga atas dasar cinta yang tulus. Menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, untuk saling melengkapi.
Penghasilan tidak akan pernah menjadi identitas yang membanggakan. Apa bangganya berindentitas penghasilan lebih tinggi karena hanyalah kesombongan yang meracuni dan menggerogoti.
Setiap pernikahan rindu kebahagiaan. Baik untuk kedua pasangan, atau bersama anak mungkin, bahkan keluarga besar dari kedua pasangan juga memiliki kerinduan yang sama.
Jakarta, 17 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H