"Jangan berdiri di pinggir begitu, nanti kamu basah dan sakit. Â Terus aku kehilangan kehadiran kamu besok di kelas," katamu
Dubrraakkkk...mendadak jantungku mau copot. Â Aneh, kenapa aku merasa ada yang aneh di hati ini.
Pikir punya pikir, aku juga tidak pernah terang-terangan marah padanya. Â Ada apa denganku tanyaku dalam hati.
Mulutmu itu lalu kumat ngoceh lagi, "Tahu nggak aku itu suka hujan. Â Menurutku hujan itu meneduhkan, aroma dan tetesnya itu khas banget."
Anehnya, aku justru mendengarkan ocehanmu kali ini. Â Nggak nyangka cowok segokil dirinya menyukai hujan.
"Kamu diam, tapi nurut aja aku ajak duduk didalam." Â Hehehhe...lalu kamu tertawa, tapi aku tidak marah, aneh.
"Yah udah kalau mau diam nggak apa-apa. Â Mau tahu kenapa aku suka mengirimi puisi dan lagu?" tanyamu
"Karena mau buat aku klepek memujamu." jawabku asal.
Aku ingat ketika itu dirimu tersenyum, "Aku suka kamu, itu alasannya. Â Terserah mau percaya atau tidak. Â Paling tidak hujan jadi saksinya," katamu sambil mengucek rambutku dan aku biarkan itu karena sibuk menahan debaran jantung ini.
Ahhh....Dewo, aku memang tidak pernah mengaku. Â Tetapi hujan selalu membawaku kepada kenangan dan rinduku padamu, walau itu telah berlalu 15 tahun lalu.
Aku terlalu angkuh mengaku memiliki rasa itu, atau mungkin aku bodoh untuk mengerti? Â Secarik kertas darimu masih hafal ku ingat, berbunyi bisu dalam hatiku.
