Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembicaraan di Dapur

4 Oktober 2020   17:59 Diperbarui: 4 Oktober 2020   18:04 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.goodnewsfromindonesia.id/

Klontang...klontang...terdengar riuh suara di dapur seperti perang dunia dipercepat.   Sekilas terlihat ibu sibuk merapikan belanjaannya.  Ehhmm...sepertinya sih ramai banget nih belanjaan ibu kali ini.  Berdesakkan dalam tas belanja itu antara sayur, bumbu dapur, daging juga ikan.

"Aku rasa giliranku yang pertama dieksekusi.  Percaya aku, si Nana itu khan sudah ngebet mau makan ayam woku," sombong nggak ketulungan si daging ayam pamer diri.

Disahutilah si ayam dengan suara cabe kriting yang merah sumringah.  Kompak bersahutan dengan beberapa bumbu lainnya, jahe, lengkuas, sereh dan kemiri.  "Heheh...yoi yam (kepanjangan dari ayam), kita pasti duluan.  Nggak pake lama kedinginan di kulkas.  Hari ini kita berangkat," teriak mereka kompak dengan nada nyebelin sih sebenarnya.

"Bu...ibu..., jadi khan hari ini kita makan woku?  Aku tuh kangen banget woku ibu," teriak Nana keluar dari kamarnya menuju dapur.  "Oiya, bu, ini daun kemangi titipan ibu tadi.  Sudah aku siangin bu, lanjut Nana menyodorkan kemangi kepada ibu."

"Pretttlah...sombong banget kalian.  Lagian siapa juga yang mau berlama-lama tetanggaan dengan kalian di kulkas.  Dengerin ocehan kalian itu bikin dosa, jadi ikutan ngegerutu nggak jelas," timpal daging dan ikan cemberut.

"Cie..cie....kesel nih yee....  Maaf yah ikan, yang doyan kamu itu khan cuma ibu.  Nah, kalau kamu ging (menyebut daging), mana boleh makan daging sering-sering.  Bisa kolesterol tahu!' songongnya si ayam ngoceh terus nyebelin.

Ibunya si Nana pun terlihat memilih ayam dan beberapa bumbu untuk dieksekusi menjadi woku ayam favorit putrinya itu.  Ada jahe, lengkuas, kemiri, bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit dan juga irisan sereh yang diblendernya halus.  Ayam pun sudah siap berlumur jeruk nipis agar tidak amis.

Sementara Nana terlihat antusias sekali.  Mulai berkhayal siang ini bakal makan enak, nambah 2 piring katanya.  Maklum nasib anak kos, mumpung weekend bisa pulang sebentar ke Jakarta makan masakan ibu.  "Duh..buruan dong ibu masaknya.  Ngapain sih pakai jeda terima telpon.  Aku tuh nggak sabar ibu," bawelnya Nana.  Tingkahnya itu loh seperti komandan saja nongkrongin ibunya.

"Sabar nduk, ini loh eyangmu telepon mau datang.  Eyangmu mau nginap, kangen kamu katanya.  Duh..untung kita masak woku, jadi eyangmu ikutan makan enak deh," sahut ibu dengan sabar.  Tangannya pun terlihat lincah memotong dan meracik bumbu.  Di saat bersamaan masih mengerjakan kerjaan lainnya.

Sementara ayam beserta rombongannya terlihat makin sombong kebelinger.  "Hei...hei...lihat kita betapa kerennya bakalan disajikan untuk eyangnya si Nana.  Eyang si Nana itu khan cerewet, kalau makan maunya milih.  Sukanya yang enak-enak, yah kayak kita ini.  Kita dianggap layak untuk disajikan," komentar ayam panjang lebar meninggikan dirinya.  Sementara bumbu lainnya sih tidak menjawab, tetapi senyum mereka menggembang bangga.

Sreg...sreg...ibu terlihat sibuk mengolah.  Menumis bumbunya terlebih dahulu, dan barulah kemudian ayam dicemplungkan, berendam dalam air yang dituangkan setelahnya.  Ditunggu...ditunggu dan ditunggu hingga beberapa lama.  Setelah menyusut, masukan lagi air sekedarnya, dan biarkan menyusut baru campurkan lagi irisan cabe rawit, cabe kriting, potongan tomat, dan daun kemangi.

Ting..nong..terdengar suara bel rumah.  Ehhmm..sepertinya sih itu eyang sudah datang.  "Na...Nana...mana kamu Na," teriak eyang yang sudah berada di depan pintu.

Bergegas ibu berlari ke ruang tamu menyambut eyang, dan meninggalkan woku ayam yang pas banget sudah selesai.

Terlihat Nana keluar dari kamarnya dan memberikan salam kepada kedua eyangnya.  "Ehhmm...harum opo iki?" suara eyang kakung sambil mengedus dan mengelus perutnya.

"Tara...itu ayam woku, eyang.  Yuks...kita makan aja langsung, aku sudah lapar banget, dan kangen masakan ibu," bawelnya si Nana nyerocos.

Ibu pun terlihat sudah menyajikan semuanya tertata rapi di atas meja.  Disamping woku ada juga tumis pare menemanin.

"Ehhmm...ehmm...," terdengar datar suara Nana, dan air mukanya juga terlihat tanpa ekspresi.

Sementara eyang kakung dan eyang uti juga terlihat kompak menunjukkan muka tanpa ekspresi milik Nana itu.

"Lho..loh..kok mukanya ditekuk gitu toh.  Kepedesan, nggak enaknya yah?" tanya ibu menangkap kecurigaan.  Kemudian ibu pun mencoba woku ayam itu, sembari siap-siap jika pedas.  Ternyata, dan ternyata rasanya hambar babablas!!!

"Iiih...ibu, kok begini sih, nggak ada rasanya bu.  Hanya terasa pedas doang, nggak beres ini bu," kembali Nana berisik sekali menunjukkan muka kecewanya.

"Sstt..ndak boleh begitu.  Sepertinya ibumu lupa menaruh garam," sahut eyang uti mencoba menetralkan suasana.

"Garam...oiya....perasaan tadi garam nggak ikutan kita deh," bisik cabe

"Waduhhh...iya, si garam nggak diajak.  Pantes aja kita jadi nggak jelas begini rasanya.  Kamu kerasa pedas doang, dan aku seperti makan daging aja, nggak nendang," celoteh ayam seperti biasanya sotoy.

"Ee...iya....aku lali, maaf, maaf...aku lupa e...naruh garam tadi.  Habisnya tadi si Nana ini berisik banget, dan sembari terima telepon juga tadi.  Jadinya aku beneran lupa garam," dengan sedih ibu mengaku.  Merasa bersalah karena merusak makan siang hari itu.

"Wuihhh...parah..parah...juga yah bu.  Gara-gara garam semua jadi hambar.  Mau makanan seenak apapun, lupa digaramin langsung deh nggak ada enak-enaknya sama sekali," suara Nana sudah kembali normal.  "Yo wislah...bu, mari kita perbaiki sebentar.  Biar aku cemplungin ke wajan sebentar dan tambahkan garam," oceh Nana menyemangati ibunya.

Heheh...kira-kira begitu deh.  Apapun masakannya, tanpa garam yah hambar.  Mungkin seperti pasang surut kehidupan yang membuat kita jadi lebih kuat.  Kalau datar-datar saja, tidak ada pelajaran kehidupan, mana tahu mengucap syukur.  Belajar dari garam yang kecil saja ternyata membuat dampak yang besar, membuat lebih berasa.

Jakarta, 4 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun