Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Ketika

26 September 2020   00:37 Diperbarui: 26 September 2020   01:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://tebuireng.online/

Ketika itu Dina sedang sangat-sangat sibuknya mengerjakan tugas kantor.  Padahal itu weekend loh, dan seharusnya hang out bareng teman lebih asyik.  Tetapi ini justru secangkir kopi susu panas yang sudah siap menemani untuk begadang malam nanti.

Sementara di luar sana hujan turun dengan ganasnya.  Gemuruh sekali, apalagi kamar Dina ada dilantai dua.  Makin seru kesan horornya karena hujan badai dicampur petir.

Kring..kring..kira begitulah gambaran suara gadget tiba-tiba berbunyi, lengkap dengan getaran.  Maklum terkadang karena serius, bahkan suara gadgetpun tidak terdengar.  Makanya supaya lengkap, sekalian saja vibranya aku aktifkan.

"Din, kamu sibuk?  Aku minta waktumu yah.  Jangan tutup telepon gw, karena gw butuh teman bicara," begitu suara diseberang nyambung terus tanpa memberi kesempatan menjawab.  Padahal, jujur ingin mengatakan, "Duh, please deh gw ini ngejar deadline bro."

"Ehhmm...kenapa emang Shin?  Gile suara lu galau banget.  Hati-hati yah, jangan bunuh diri sekarang-sekarang ini.  Gw kagak sempat ngelayat," begitu jawab Dina berkelakar.

"Ha...emang kerasa banget yah kalau gw mau bunuh diri?"  Lalu suara diseberang dipenuhi dengan ledakan tangis nggak jelas Shinta.

Samber geledek Dina juga kaget, apa maksudnya nih.

Lanjut nggak lama kemudian Shinta bersuara," Din, gw hamil anak bos gw.  Nggak mungkin dia ngawinin gw karena doski sudah beristri.  Nggak mungkin juga gw besaran ini anak.  Lebih nggak mungkin lagi kalau gw gugurin," lalu suara tangispun kembali pecah.

"Din, gw harus mati.  Gw mau bunuh diri aja, nggak sanggup gw nanggung ini semua," kacau suara itu menjelaskan niat gilanya.

Anggap saja Dina itu penulis, terus emang gw peduli ide gila Shinta?  Haha...enggak!

Santai penulis menjawab,"Hahah....gile lu Shin!  Gimana caranya sampai lu bisa hamil anak laki orang, sakti betul lu."  Lanjut Dina yang pegang kendali pembicaraan karena di seberang sana Shinta nggak diam-diam nangis mulu.

"Begini yah Shin, emangnya lu mau bunuh diri gimana?  Mau loncat, atau minum baygon?  Yakin lu pasti berhasil.  Nah kalau gagal, terus gimana.  Khan jadi double malunya.  Lagipula kalau berhasil, emangnya lu pikir semua jadi selesai?" begitu cerocos penulis.

"Asal lu tahu yah Din, di neraka itu dipastikan nggak enak.  Sekali lu disana, kagak bisa kemana-mana lagi, abadi lu disana," jelas Dina sotoy.

Terdengar Shinta kembali bersuara meski masih kacau, campur dengan tangisnya.  "Gw khilaf Din.  Khan lu tahu kerjaan gw di lapangan, dan pas keluar itulah gw dan bos "nyambi" ngisi waktu.

Nggak terasa cinta terlarang gw ini sudah jalan nyaris setahun. Sampai akhirnya gw sadar kalau sekarang gw hamil.  Jangan salahin dia Din, karena bos gw itu belum tahu.  Nggak mau gw masalah tambah kacau," jelas Shinta yang masih sempat-sempatnya mau jadi malaikat disaat dirinya sendiri mau jadi setan kepikiran bunuh diri.

Terhenti dan hening sejenak

Lanjut Shinta bersuara,"Gw sebenarnya takut bunuh diri.  Gw nggak tahu caranya gimana, tapi gw takut segalanya."

Mencoba sabar penulis mendengarkan, sementara jujurnya penulis juga panik.  Panik karena kerjaan kantor jadi nggak jelas kapan selesai, dan pastinya panik gila ini bocah kok mau bunuh diri.  Nggak lucu banget khan punya daftar nama teman yang meninggal karena bunuh diri.

"Gini Shin, gw nggak tahu cara nolong lu.  Tapi, bunuh diri jelas nggak nolong lu samasekali.  Gw jamin lu bakalan jadi setan penghuni neraka.  Lha, lu belum kelar urusan didunia tapi sudah datang duluan, itu khan bikin Tuhan kesal," kembali sotoy penulis menjelaskan.

Lanjut penulis nyerocos,"Secara agama aja dilarang Shin.  Lagipula, lu udah bikin satu kesalahan.  Harusnya lu benerin dong.  Geblek aja ini malah lu perparah."

Kembali lanjut penulis nyerocos karena suara diseberang terus sesegukkan nangis. 

"Shin, kata gw mah mending lu bilang tuh bos. Jangan sok jadi malaikat demi menyelamatkan muka bos lu, itu khan anak dia juga. Harus lu ingat yah, tuh anak nggak berdosa.  Jadi biar bagaimanapun nggak ada hak lu atau bos lu untuk cabut nyawa tuh bocah.  Terserah entah itu digugurin atau lu bunuh diri, tetap saja lu mengambil haknya untuk hidup."

"Pegang kata gw, lu datang ke Tuhan dan minta ampun.  Dia tuh pasti bantu lu, asal lu datang dengan hati.  Khan Tuhan itu Bapa, dan kita ini anaknya.  Mana ada sih Bapa yang meninggalkan anaknya.  Lu taulah semua itu bro. Terus ajak tuh bos bicara baik-baik. Satu kesalahan cukup, dan lu perbaiki. Kalau gw mau becanda yah Shin, kagak maulah gw punya teman jadi setan, kelakar Dina mencoba menenangkan suasana yang memang sudah horor karena kebetulan hujan badai malam itu.

Berharap mendengar suara Shinta menjawab, tapi yang ada hanyalah tangis hancur hatinya.  Kebayang sih, siapapun perempuan diposisinya pastilah panik.

Nggak lama Shinta bersuara dengan tentunya campur tangis,"Din, thanks yah untuk waktu lu,"  Lalu telepon itu ditutupnya, sementara penulis bingung ini maksudnya apa lagi.  Mencoba menelepon Shinta segera tetapi telepon itu tak menjawab.

Pasti pembaca penasaran ada apa dengan Shinta khan? Idem, Dina juga ketika itu.  Malam itu dihabiskan Dina dengan berusaha keras menyelesaikan tugas kantornya sampai begadangan karena Sabtu siang ditunggu atasannya.  Bercabang-cabang pikiran Dina memikirkan hal buruk kalau-kalau Shinta berbuat bodoh.

Terus mencoba menghubungi Shinta, tetapi sejak malam itu nomor Shinta tidak bisa dihubungi.  Namanya seolah lenyap hingga beberapa tahun kemudian sebuah telepon masuk.

"Din, ini gw Shinta.  Gw masih hidup Din," kata suara di telepon itu yang memang suaranya.

Kaget campur girang Dina, tapi mencoba untuk kalem.  "Wow...kemana aja lu?  Yakin ini bukan setannya si Shinta?  Cerita dong, kemana dan ngapain aja lu selama ini bro," seloroh Dina.

"Gw sudah resign dari kantor itu Din.  Malam itu gw nggak jadi bunuh diri.  Gw kagak mau jadi setan seperti kata lu.  Jadi, dua hari kemudian gw cerita ke bos gw, dan gw resign.  Sekarang sih gw udah kerja lagi di tempat lain.  Nah anak itu gw lahirin Din.  Jadi gw dikawinin sama dia, dan setelah anak itu lahir gw minta cerai.  Bagi gw yang penting anak gw statusnya jelas, punya bapak.  Soal bini bos gw itu bukan urusan gw, kita bicara baik-baik bertiga setelah pengakuan gw hamil anak suaminya.  Gw juga minta maaf karena lancang ganggu rumahtangga dia," curhat Shinta yang kali ini sangat jauh lebih tenang.

"Benar kata lu Din, ketika kita datang dengan hati maka Tuhan itu pasti tolong.  Anak gw itu diurus nyokap gw di kampung.  Tapi pegang kata gw, tuh anak enggak akan gw telantarin, dan gw enggak akan malu ngaku kalau gw mamanya, " ada nada bangga dalam suara Shinta.

Ehhmmm...kali ini aku yang lebih banyak terdiam mendengar pengakuan luarbiasa Shinta yang entah darimana mendapatkan kekuatan untuk berani menjalani keputusan beratnya sendirian.  Berbanding terbalik dengan telepon dulu yang hanya memikirkan kematian sebagai solusi.

Lalu kami berduapun larut dalam percakapan ngalor ngidul mengenai hidup, termasuk soal jodoh.  Heheh..kebetulan Dina belum beruntung mempunyai pendamping ketika itu.  Sementara Shinta malah bercanda dirinya agak beruntung karena sempat mempunyai suami sebentar.  Hahha...kocak memang Shinta yang mampu mentertawakan kebodohannya.  Sebuah kedewasaan yang luarbiasa menurut penulis.

Memang begitulah adanya, ada banyak dari kita sering mentertawakan orang seakan dirinya sangat sempurna.  Tetapi nyatanya sulit menerima kritik dan masukan, apalagi kalau sampai ditertawakan orang.  Berbeda dengan Shinta, pelajaran hidup berharga telah berhasil dimenangkannya.

Shinta sungguh telah memilih hidup.  Hidup dalam arti dirinya, dan hidup anaknya.  Tidak hanya hidup, tetapi Shinta memilih kehidupan yang ada Tuhan didalamnya.  Mengakui dosanya, memperbaiki dan melanjutkan hidupnya untuk menjadi manusia lebih baik.

Percakapan itu kemudian berakhir setelah lewat 1 jam kami ngobrol tanpa terasa.

Tidak tahu dimana keberadaan Shinta saat ini.  Lewat sudah 15 tahun penulis tidak mendengar kabarnya.  Doa dan pengharapan terbaik untuknya.  Percaya dirinya telah belajar banyak, dan pasti mampu menjalani kehidupan yang sudah diserahkannya ke tangan Tuhan.

Cerita ini diangkat dari kisah nyata, teruntuk sahabatku dimanapun dirimu kini.  God loves you sist.

Jakarta, 26 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun