Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku "Teman" Anakku

21 September 2020   17:57 Diperbarui: 21 September 2020   17:59 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memilih menjadi teman adalah cara penulis membesarkan kedua bocahku yang kini beranjak remaja.  Menjadi teman yang benar-benar teman.   Artinya ketika urusan pelajaran, sesibuk apapun penulis tetap menyempatkan diri ikutan mempelajari materi sekolah anak-anak.  Sambil bertahap menanamkan tanggungjawab dan optimisme bahwa mereka pasti bisa.

Di saat ada pelajaran yang sulit, maka kami belajar bersama.  Benar-benar bersama dengan mencari buku tambahan lainnya dan mencoba mengerti.  Bahkan pernah pada pelajaran Matematika, materi KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil) dan FPB (Faktor Persekutuan Terbesar) ketika itu penulis sampai berguru dengan guru anak-anak di sekolah.  Heheh...serius ini nggak bohong.

Intinya, penulis menanamkan, tidak ada kamus tidak bisa!  Tidak bisa itu hanyalah untuk orang malas yang gampang menyerah.  Sikap ini cikal bakal orang gagal.  Kalau diri sendiri saja nyerah, itu artinya tidak mencintai diri sendiri.  Tidak mau mengejar masa depan.

Tidak melulu soal sekolah dan belajar, sebagai "teman" penulis juga berteman dengan temannya anak-anak.  Bercanda dengan mereka, mengikuti gaya bahasa mereka, ngobrol dan hahahihi bareng.  Terus terang, cukup banyak teman anak-anak ada di kontak HP penulis loh.  Wait...jangan salah, meskipun menempatkan diri jadi teman, tetapi nilai apa yang boleh dan tidak tetap penulis sisipkan dengan cara yang tidak menggurui.

Selebihnya dari urusan pelajaran, bersama kedua bocahku penulis selalu terbuka.  Mereka bebas bercerita apa saja.  Kami juga suka bercanda hingga kejar-kejaran, bahkan guling-gulingan di kasur, tanpa ada embel-embel emak dan anaknya.  Nggak hanya itu, tidak jarang dengan cara sederhana weekend kami habiskan dengan masak-masak ala youtube.  Nah di sela-sela ini kembali penulis sempatkan untuk menanyakan ataupun memotivasi urusan sekolah mereka.

Apakah penulis kehilangan hormat dari anak-anak?  Hahah.... Puji Tuhan tidak.  Justru sebaliknya, yang didapat adalah cinta, hormat dan tanggungjawab mereka.  Di jenjang SMA sekarang ini, mereka terbilang mandiri.  Ini pun, masih seperti ketika kecil dulu, kalau ada yang tidak bisa, mereka akan datang ke penulis.  Kamipun akan bersama-sama mencari penyelesaiannya.

Mungkin ada pertanyaan, sampai kapan?  Hahah...apakah anak ada batas waktunya?  Anak sampai selamanya tetap anak.  Biarpun sudah berumahtangga nantinyapun tidak berarti anak tidak bisa bertanya kepada orangtuanya.  Bukankah seharusnya kita senang karena hubungan yang terjalin harmonis?  Jadi, jawabannya yah sampai kita orangtuanya berpulang, dan disitulah kita tidak lagi ditanyai anak.  Heheh..menurut penulis sih begitu.

Lalu pernah tidak sih penulis marah besar kepada mereka?  Begini, menempatkan diri sebagai teman, tidak berarti lupa jati diri bahwa penulis adalah orangtua, dan bahwa penulis adalah mama mereka.  Tetap batasan itu ada, tetapi bukan seperti hubungan raja dengan rakyat jelatanya yang berjarak. Jadi jawabannya pernah, tetapi puji Tuhan sejauh ini bukan karena hal-hal kriminal.

Supaya tidak penasaran, penulis pernah marah besar ketika si sulung putri penulis ketika mencoba pulang sendiri.  Berjalan kaki, terik-terik dari sekolah ke rumah yang jaraknya +- 3 km, dan ketika itu usianya masih kelas 5 SD. Jika sudah terbiasa mungkin tak jadi soal, tetapi jika selama ini selalu dianter jemput lalu mendadak pulang sendiri, apalagi di kota besar Jakarta, maka itu adalah kebodohan menurut penulis.

Kenapa ini dilakukannya, adalah karena dirinya merasa sudah besar dan bertanggungjawab.  Menurutnya, memori perjalanannya selama ini diantar ke sekolah cukup jadi modal untuk pulang jalan kaki, supaya mama bangga karena dirinya sudah besar.  Heheh...dubrak khan.  Nah, untuk hal ini penulis marah besar.  Tetapi setelahnya penulis menjelaskan kepadanya kenapa mama ini marah.  Bukan karena tidak senang dirinya mencoba mandiri, tetapi karena kemandirianpun ada penempatan dan saatnya.

Singkat cerita, anak membutuhkan kita.  Kitalah harusnya yang menjadi orang pertama paling dirindukan, dan diharapkan hadir atau membantunya.  Membicarakan sibuk kurang tepat, karena kita membandingkan kesibukan kita dengan anak yang notabene darah daging kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun