Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku "Teman" Anakku

21 September 2020   17:57 Diperbarui: 21 September 2020   17:59 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://www.tribunnews.com/

Pernah mendengar istilah zaman now, or zaman kekinian?  Istilah ini pas dan cocok banget untuk orangtua di era 4G yang dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam mendidik. Jujur ngakak dan ngenes banget masih menemui orangtua yang bangga dengan kata-kata, "Papa/ Mama dulu belajar sendiri. 

 Eyangmu nggak ikut-ikutan belajar.  Lha, kamu ini sekarang ngerepotin, manja."  Wkwk... maaf, kira-kira yang bicara ini hidup di zaman kapan?  Jangan lupa, sekarang sudah tahun 2020, jadi nggak bangetlah membandingkan tahun jebot dengan masa sekarang. Konyolnya lagi, ucapan seperti ini lumayan banyak dinyanyikan orangtua di perkotaan, ketimbang di desa.

Kenapa konyol, karena jika di desa atau pedalaman taruhlah karena segala keterbatasannya menjadikan mereka sulit ikutan mengajari anaknya belajar, apalagi saat PJJ sekarang ini.  Tetapi, kalau orangtua di kota mengatakan hal ini, itu sih namanya jaim alias jaga image tidak mau terlihat "ketidaktahuannya", gaptek (gagal tekhnologi) atau terparahnya "gila" hormat.  Apalagi jika ini orangtua yang datang dari latar belakang pendidikan menengah ke atas.

Membahas gaptek, mungkin agak bisa dimaklumi karena tidak semua orangtua dalam pekerjaannya melibatkan komputer.  Tetapi, paling tidak menggunakan gadget sudah bukan hal baru.  

Nah yang jadi persoalan adalah "gila" hormat, tidak mau ngaku didepan anaknya kalau tidak bisa, atau bisa juga karena merasa tidak pantas ikutan belajar bareng anak.  "Saya ini orangtua yang cari uang.  Kok saya disuruh nemenin anak belajar, itu khan tugas gurunya," kira-kira begitulah komentar yang sering terdengar. Heheh... mungkin orangtua ini lupa, kalau ini anaknya, dan bukan anak bapak atau ibu guru.

Sedikit melenceng, kata orang pengalaman adalah guru terbaik.  Ungkapan inilah yang membuat penulis ingin lebih baik dari kedua orangtua penulis.  Bertumbuh dan besar sebagai anak yang kedua orangtua sibuk, membuat penulis seperti layang-layang putus.  Bayangkan untuk mengambil raport saja, mama dan papa ketika itu tidak sempat.  Sehingga setiap urusan sekolah diwakilkan anak buah papa, atau bahkan pernah raport diambil oleh supir dengan berbekal secarik surat sakti papa.

Kesibukan sebagai pejabat daerah membuat semua terjadi.  Sehingga dalam hal belajar penulis harus mandiri.  Hanya bergereja saja kami selalu bersama.  Nilai moral, kebebasan yang bertanggungjawab dan takut akan Tuhan membuat penulis tidak mau mengecewakan orangtua. Sehingga walau belajar sendirian, tetapi predikat juara kelas dan sederet prestasi berhasil diraih.

Pengalaman inilah yang membuat penulis tidak ingin mengulangnya lagi saat sudah memiliki keluarga.  Rasa kesepian dan perasaan dibiarkan itu tidak enak banget.  

Apalagi kondisi sekarang jelas berbeda, karena setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing.  Ambil contoh, dulu tugas klipping cukup mengambil dari koran yang digunting lalu tempel.  Tetapi sekarang, tugas-tugas sekolah kebanyakan diambil dari internet, alias browsing. Disinilah seramnya, keberadaan internet membuat dunia ada di genggaman, bisa mencerdaskan, dan bisa juga menjerumuskan. Ketebak dong, kalau orangtua tidak mendampingi, tidak mengikuti perkembangan zaman maka ujungnya hanya jadi bulan-bulanan bocah, dikadalin!

Buang jauh-jauh pikiran mendidik tangan besi mirip pemerintahan Korea Utara.  Hahah....karena yang terjadi adalah si anak akan berpikir seribu macam cara untuk lebih curang atau jahat.  Terparahnya lagi, kita akan "kehilangan" karena anak mengambil jarak.  Malaslah dirinya dimarahi dan disudutkan terus.  Tempatkan saja diri kita, apakah mau disalahi terus?  Sementara si anak butuh bantuan, tetapi kita justru mencampakkannya.  Logikanya itu dimana?

Sibuk, dan capek?  Maaf, sibuk dan capek itu kenyataan yang sama nyatanya bahwa anak adalah tanggungjawab bapak dan ibunya.  Harus diingat, bahwa kehadirannya bukan atas kehendaknya.  Tetapi cinta kasih orangtuanyalah yang menjadi alasan kelahirannya.  Harusnya inilah juga alasan kuat untuk membesarkan dan mendampinginya semaksimal mungkin.

Memilih menjadi teman adalah cara penulis membesarkan kedua bocahku yang kini beranjak remaja.  Menjadi teman yang benar-benar teman.   Artinya ketika urusan pelajaran, sesibuk apapun penulis tetap menyempatkan diri ikutan mempelajari materi sekolah anak-anak.  Sambil bertahap menanamkan tanggungjawab dan optimisme bahwa mereka pasti bisa.

Di saat ada pelajaran yang sulit, maka kami belajar bersama.  Benar-benar bersama dengan mencari buku tambahan lainnya dan mencoba mengerti.  Bahkan pernah pada pelajaran Matematika, materi KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil) dan FPB (Faktor Persekutuan Terbesar) ketika itu penulis sampai berguru dengan guru anak-anak di sekolah.  Heheh...serius ini nggak bohong.

Intinya, penulis menanamkan, tidak ada kamus tidak bisa!  Tidak bisa itu hanyalah untuk orang malas yang gampang menyerah.  Sikap ini cikal bakal orang gagal.  Kalau diri sendiri saja nyerah, itu artinya tidak mencintai diri sendiri.  Tidak mau mengejar masa depan.

Tidak melulu soal sekolah dan belajar, sebagai "teman" penulis juga berteman dengan temannya anak-anak.  Bercanda dengan mereka, mengikuti gaya bahasa mereka, ngobrol dan hahahihi bareng.  Terus terang, cukup banyak teman anak-anak ada di kontak HP penulis loh.  Wait...jangan salah, meskipun menempatkan diri jadi teman, tetapi nilai apa yang boleh dan tidak tetap penulis sisipkan dengan cara yang tidak menggurui.

Selebihnya dari urusan pelajaran, bersama kedua bocahku penulis selalu terbuka.  Mereka bebas bercerita apa saja.  Kami juga suka bercanda hingga kejar-kejaran, bahkan guling-gulingan di kasur, tanpa ada embel-embel emak dan anaknya.  Nggak hanya itu, tidak jarang dengan cara sederhana weekend kami habiskan dengan masak-masak ala youtube.  Nah di sela-sela ini kembali penulis sempatkan untuk menanyakan ataupun memotivasi urusan sekolah mereka.

Apakah penulis kehilangan hormat dari anak-anak?  Hahah.... Puji Tuhan tidak.  Justru sebaliknya, yang didapat adalah cinta, hormat dan tanggungjawab mereka.  Di jenjang SMA sekarang ini, mereka terbilang mandiri.  Ini pun, masih seperti ketika kecil dulu, kalau ada yang tidak bisa, mereka akan datang ke penulis.  Kamipun akan bersama-sama mencari penyelesaiannya.

Mungkin ada pertanyaan, sampai kapan?  Hahah...apakah anak ada batas waktunya?  Anak sampai selamanya tetap anak.  Biarpun sudah berumahtangga nantinyapun tidak berarti anak tidak bisa bertanya kepada orangtuanya.  Bukankah seharusnya kita senang karena hubungan yang terjalin harmonis?  Jadi, jawabannya yah sampai kita orangtuanya berpulang, dan disitulah kita tidak lagi ditanyai anak.  Heheh..menurut penulis sih begitu.

Lalu pernah tidak sih penulis marah besar kepada mereka?  Begini, menempatkan diri sebagai teman, tidak berarti lupa jati diri bahwa penulis adalah orangtua, dan bahwa penulis adalah mama mereka.  Tetap batasan itu ada, tetapi bukan seperti hubungan raja dengan rakyat jelatanya yang berjarak. Jadi jawabannya pernah, tetapi puji Tuhan sejauh ini bukan karena hal-hal kriminal.

Supaya tidak penasaran, penulis pernah marah besar ketika si sulung putri penulis ketika mencoba pulang sendiri.  Berjalan kaki, terik-terik dari sekolah ke rumah yang jaraknya +- 3 km, dan ketika itu usianya masih kelas 5 SD. Jika sudah terbiasa mungkin tak jadi soal, tetapi jika selama ini selalu dianter jemput lalu mendadak pulang sendiri, apalagi di kota besar Jakarta, maka itu adalah kebodohan menurut penulis.

Kenapa ini dilakukannya, adalah karena dirinya merasa sudah besar dan bertanggungjawab.  Menurutnya, memori perjalanannya selama ini diantar ke sekolah cukup jadi modal untuk pulang jalan kaki, supaya mama bangga karena dirinya sudah besar.  Heheh...dubrak khan.  Nah, untuk hal ini penulis marah besar.  Tetapi setelahnya penulis menjelaskan kepadanya kenapa mama ini marah.  Bukan karena tidak senang dirinya mencoba mandiri, tetapi karena kemandirianpun ada penempatan dan saatnya.

Singkat cerita, anak membutuhkan kita.  Kitalah harusnya yang menjadi orang pertama paling dirindukan, dan diharapkan hadir atau membantunya.  Membicarakan sibuk kurang tepat, karena kita membandingkan kesibukan kita dengan anak yang notabene darah daging kita.

Ada banyak jalan menuju Roma, begitu kata orang.  Mungkin, membangun komunikasi menjadi salah satu cara menanamkan percaya diri anak bahwa mereka bisa.  Kalaupun tidak bisa, dan ada kesulitan yang timbul, maka mereka tahu kita ada untuk mereka.  Oleh karena itu, kita bertanggungjawab membuat semuanya menjadi mungkin, saling bekerjasama.

Bagaimana caranya?  Cobalah membangun komunikasi dengan guru, ataupun teman orangtua murid lainnya.  Bahkan, jika tidak keberatan sempatkan diri ikut belajar lagi, sekedar merefresh apa yang dulu pernah kita pelajari.

Sebagai catatan terakhir, jangan bandingkan masa kita dengan masa sekarang!  Waktu berputar maju, bukan mundur!  Tolong berlakulah adil, membandingkan 2020 dengan puluhan tahun silam itu kuno banget!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun