Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menikah adalah Perbedaan yang Menyatukan

5 September 2020   21:05 Diperbarui: 5 September 2020   21:04 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://republika.co.id/

Kapan menikah adalah pertanyaan yang mengerikan, tetapi itu dulu.  Meski di zaman sekarang pertanyaaan horor itu sesekali masih datang dari para sepuh.  Tetapi milenial kota besar zaman sekarang sudah tidak begitu ambil pusing.  

Kenapa?  Yah...bagi kaum muda, ngapain menikah jika sendiri saja semua terasa enjoy.  Apalagi dengan jabatan dan fasilitas yang "duniawi" bikin hidup terasa lengkap.  Istilahnya, biar jomblo tapi happy!

Inilah faktanya, di kota besar ada banyak kriteria sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan siapa pendamping hidup nantinya.  Nggak mau ribet, dan nggak mau susah kata mereka.  Realistik saja, cinta tidak bisa dimakan.   

Berbeda dengan ketika pacaran dulu, saat semua terasa cukup hanya dengan melototi pujaan hati.  Sangking ngegilainya makan sepiring berdua saja dibilang kenyang.  Padahal ketika menikah, bisa kurus kerempeng kalau setiap hari makan hanya sepiring berdua.

Pada akhirnya, memang pernikahan diperhadapan dengan ekonomi.  Hiduplah di alam yang nyata bahwa uang ikut menentukan kapan kita tersenyum, dan kapan cemberut. Pikir saja, bagaimana tidak puyeng disodorkan tagihan yang ngantri untuk dibayar.  Dimulai dari cicilan rumah, kendaraan hingga gaya sosialita selama ini demi mengikuti trend.

Apa lagi ketika didalam pernikahan itu ada anak.  Memangnya anak bukan biaya?  Benar anak adalah anugrah terindah dalam sebuah pernikahan.  

Tetapi anak juga harus disekolahkan, dan paling tidak diberi makan juga pakaian.  Artinya, ada tanggungjawab yang mengikutinya.  Itulah kenyataan hidup sebuah pernikahan yang tidak semanis masa promo ketika pacaran.  Kira-kira inilah satu dari sekian sebab ngerinya orang menikah.

Tetapi apakah pernikahan sehoror itu?  Menurut penulis, pernikahan adalah kenyataan ketika kita tidak lagi bisa bersembunyi dibalik topeng karakter kita selama ini.  

Begitu memasuki pernikahan, maka gamblang dan jelas karakter pasangan kita terbaca 24 jam.  Jadi tidak seperti karakter yang kita kenali ketika masa pacaran yang satu atau dua jam itu.

Karakter-karakter ini akan meluap asli apa adanya ketika kondisi tersudut, contohnya saat pandemi Covid ini.  Kenyataan banyak orang kehilangan pekerjaan, dan usaha tutup membuat emosi semakin labil.  Lalu berujung dengan segala bentuk perang dan bisa jadi kekerasan dalam rumah tangga.

Bayangkan saja, betapa meriahnya ketika suami dirumahkan, lalu istri kebetulan tidak bekerja, dan anakpun selama pandemi di rumah karena PJJ.  Nggak kebayang situasi menjadi serba semerawut sementara cacing di perut tidak bisa disuruh diam.  

Maka yang terjadi adalah adu menang, ngotot mempertahankan pendapat masing-masing.  Lalu ujungnya adalah berpisah karena sudah tidak lagi sependapat.

Ehhhmmm...miris, karena pernikahan saja dimulai dari 2 jenis kelamin berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan.  Artinya, pernikahan itu dimulai dari sebuah perbedaan.  

Tidak mungkin keputusan melanjutkan ke jenjang pernikahan karena kedua pasangan sama dalam segala hal.  Kenapa?  Sederhana saja, karena kita menemukan kelebihan dari pasangan kita yang dapat menutupi kekurangan kita.  

Faktanya, memang tidak ada manusia yang sempurna, dan itu sebabnya di dalam pernikahan harus saling mendukung dan melengkapi.

Pandemi Covid jelas mengerikan.  Tetapi lari dari kenyataan hingga berujung perceraian karena ekonomi, itu artinya kita tidak menghargai nilai pernikahan itu sendiri.  Ini lebih mengerikan dari Covid itu sendiri, karena kita kehilangan cinta kepada pasangan kita, dan bahkan anak!

Kemana semua cinta, kasih mula-mula dan perjuangan selama ini?  Percayalah, perbedaan kita dengan pasangan kita ada untuk saling melengkapi.  Tetapi semuanya butuh kesabaran, dan komunikasi!  Bukan emosi sesaat yang akhirnya menyesatkan.

Diibaratkan kapal, maka pernikahan adalah kapal yang sedang berada diatas gelombang badai Covid.  Tidak bisa diharapkan kemudi hanya kepada nakhoda saja.  

Dibutuhkan kekompakan dan kerjasama dari seluruh anggota keluarga.  Bahkan anak pun minimal SMP rasanya cukup untuk diajak berembuk memikirkan kondisi ekonomi keluarga.  Tentunya dalam kapasitasnya sebagai anak.

Mungkin, ada baiknya di saat ini setiap keluarga saling berpengangan tangan.  Berpikirlah optimis, dan kembangkan kreativitas untuk mencari peluang baru.  

Demikian juga, biasakan untuk sertakan Tuhan dalam setiap pergumulan.  Sebagai umat beragama, kepada Dia kita mengadu, karena Dia jugalah dulu kita dipertemukan dengan pasangan kita.

Jadi sangat disayangkan jika perceraian dianggap sebagai solusi.  Tidak ada satu orang pun tahu kapan pandemi ini berakhir.  Tetapi percayalah ini pasti berakhir.  

Pertanyaannya, apakah kita akan mencampakan keluarga yang kita miliki dikarenakan Covid?  Justru seharusnya keluarga menjadi sumber kekuatan kita menghadapi badai ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun