Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nikah Itu Ibadah yang Indah, Pandemi Itu Musibah

16 Juli 2020   23:21 Diperbarui: 18 Juli 2020   21:30 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan nikah mengingatkan penulis pengalaman pribadi, banjir 2002 di Jakarta. Ehhmmm....jangan ditanya kondisi Jakarta saat itu bak lautan! Tragisnya di tahun itulah penulis menikah.  

Singkat cerita, pemberkatan nikah berjalan lancar, tetapi tidak dengan resepsi pernikahan yang dilanjutkan dengan acara adat.  Heheh...maklum penulis dari etnis Batak, yang yang dikenal rempong adat pernikahannya.  Percaya tidak percaya, acara bisa seharian suntuk, hingga matahari terbenam!

Inilah yang terjadi saat itu, hujan deras tak bersahabat tiba-tiba mengamuk. Alhasil gedung resepsi terkepung air. Ngegilai mungkin, karena tamu yang bela-belain datang pun rupa-rupa warnanya. Heheh... beberapa datang dengan menggunakan perahu, gerobak, dan ada juga yang datang dengan menggunakan celana selutut.  Kebetulan rumahnya tidak jauh dari gedung resepsi di daerah Sunter.  

Intinya sahabat penulis tersebut ingin menunjukkan ikut berbahagia, namun apa daya rumahnya pun terkena banjir.  Ini belum lagi menyebutkan perjuangan atasan penulis yang harus rela mobil mewahnya terendam banjir.  Uupps...maaf bos!

Sekarang mari kita lihat tantangan menikah di saat pandemi.  

Jujurnya sih, ini ngeri-ngeri sedap yah. Mengerti menikah itu ibadah, apalagi Tuhan sudah memberikan jodoh untuk kita. Tetapi, nggak kebayang saja tanggung jawab moral jika acara kita nantinya membawa duka untuk orang-orang terkasih. Mereka yang datang untuk mendoakan kita, tetapi justru berujung dengan cerita yang berbeda.

Mungkin tidak serupa dengan pengalaman penulis.  Tetapi, ketika penulis menikah di tahun 2002 itu alhasil sepi tamu undangan.  Acara adat pun dimodifikasi supaya tetap berjalan. 

Nyesek, karena makanan catering berakhir dengan diberikan kepada anak-anak panti dan warga sekitar yang terkena musibah banjir.  Diambil positipnya saja, setidaknya bisa menjadi berkat untuk orang lain.

Sekarang kita bayangkan jika menikah di masa pandemi ini, antar yes or not.  Maksudnya, jika pernikahan dipaksakan digelar secara "normal" lengkap dengan resepsi apakah tidak memaksakan diri?  Sekalipun mungkin dengan menggunakan protokol kesehatan, rasanya kok seperti berjudi yah. 

Inilah juga di depan mata yang dihadapi salah seorang kerabat penulis yang ingin menikahkan anaknya, lengkap dengan adat. Pertemuan panitia adat saja sudah begitu sulit dikumpulkan karena hanya beberapa kerabat yang bersedia terlibat.  Itupun karena berbagai pertimbangan tidak enak, dan garis kekerabatan yang kelewat dekat.

Sekarang dilema dan galau memuncak, karena Jakarta mengamuk merah membara.  Ada kebingungan yang dirasakan keluarga yang terlibat dalam acara.  

Ingin mundur dari kepanitiaan tapi tidak enak karena ini adat. Tetapi lanjut pun ngeri, karena siapa yang bisa menjamin semua aman-aman saja.  Ini baru membicarakan kepengurusan panitia, dan belum hari "H" nya nanti

Intinya, terlalu banyak yang dipertaruhkan disini, dan terlalu ribet ruwet menyelenggarakan pesta pernikahan di tengah masa pandemi.  Tidak hanya kita dituntut memikirkan keselamatan tamu undangan, tetapi juga lingkungan sekitar harus dijadikan pertimbangan jika pesta dilakukan di daerah perumahan warga.

Bercermin pengalaman menikah di musim banjir, mungkin ada baiknya untuk siapa pun yang ingin menikah di masa pandemi ini menyederhanakan segalanya. Percayalah nyesek banget karena semua menjadi di luar ekspetasi.  

Memang sih banjir dan pandemi adalah dua hal yang berbeda, karena banjir ketika itu tidak bisa diprediksi.  Tetapi, pandemi saat ini jelas-jelas di depan mata kita.

Saran penulis sih, fokus saja kepada inti sebuah pernikahan bahwa Tuhan memberikan pasangan hidup untuk kita.  Jadi, jika memang tidak bisa diulur waktunya, maka menikah secara agama saja dahulu. 

Terpenting sah di mata Tuhan, dan juga negara. Sedangkan urusan resepsi dan adat itu kan buatan manusia. Bisa menyusul nanti jika semua sudah terkendali. Ucapan syukur cukup keluarga inti saja, orang tua kita, dan orang tua pasangan kita.

Puji Tuhan, tahun ini adalah tahun ke 18 penulis mengarungi bahtera rumah tangga. Percayalah menikah tidak seindah pesta yang sehari itu.  

Ada banyak kejutan di dalamnya yang saling melengkapi. Itulah nilai pernikahan, menyelaraskan yang berbeda. Jadi bukan soal gegap gempita pestanya, tetapi bagaimana pernikahan itu nantinya berjalan tetap seindah cinta saat pertama berjumpa.

Kesimpulannya, jika Tuhan sudah mempertemukan belahan jiwa kita, maka biarlah itu sah dimataNya. Sedangkan yang lain hanyalah ornament pelengkap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun