Intinya, terlalu banyak yang dipertaruhkan disini, dan terlalu ribet ruwet menyelenggarakan pesta pernikahan di tengah masa pandemi. Â Tidak hanya kita dituntut memikirkan keselamatan tamu undangan, tetapi juga lingkungan sekitar harus dijadikan pertimbangan jika pesta dilakukan di daerah perumahan warga.
Bercermin pengalaman menikah di musim banjir, mungkin ada baiknya untuk siapa pun yang ingin menikah di masa pandemi ini menyederhanakan segalanya. Percayalah nyesek banget karena semua menjadi di luar ekspetasi. Â
Memang sih banjir dan pandemi adalah dua hal yang berbeda, karena banjir ketika itu tidak bisa diprediksi. Â Tetapi, pandemi saat ini jelas-jelas di depan mata kita.
Saran penulis sih, fokus saja kepada inti sebuah pernikahan bahwa Tuhan memberikan pasangan hidup untuk kita. Â Jadi, jika memang tidak bisa diulur waktunya, maka menikah secara agama saja dahulu.Â
Terpenting sah di mata Tuhan, dan juga negara. Sedangkan urusan resepsi dan adat itu kan buatan manusia. Bisa menyusul nanti jika semua sudah terkendali. Ucapan syukur cukup keluarga inti saja, orang tua kita, dan orang tua pasangan kita.
Puji Tuhan, tahun ini adalah tahun ke 18 penulis mengarungi bahtera rumah tangga. Percayalah menikah tidak seindah pesta yang sehari itu. Â
Ada banyak kejutan di dalamnya yang saling melengkapi. Itulah nilai pernikahan, menyelaraskan yang berbeda. Jadi bukan soal gegap gempita pestanya, tetapi bagaimana pernikahan itu nantinya berjalan tetap seindah cinta saat pertama berjumpa.
Kesimpulannya, jika Tuhan sudah mempertemukan belahan jiwa kita, maka biarlah itu sah dimataNya. Sedangkan yang lain hanyalah ornament pelengkap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H