Feminisme postmodern juga mengkritik norma-norma tradisional yang memisahkan peran perempuan dan laki-laki, serta bagaimana masyarakat memandang seksualitas perempuan. Dalam konteks Korea Selatan, artis-artis K-pop perempuan memainkan peran penting dalam upaya ini. Melalui musik dan penampilan mereka, artis K-pop perempuan tidak hanya mengekspresikan diri secara bebas, tetapi juga menentang norma-norma gender yang kaku.
Dekonstruksi Identitas Perempuan dan Fleksibilitas Gender
Salah satu contoh penting dari dekonstruksi identitas perempuan adalah artis Amber Liu dari grup f(x). Amber sering kali tampil dengan gaya androgini yang menantang batas-batas tradisional antara maskulinitas dan feminitas. Identitas Amber yang cair ini mencerminkan pandangan feminisme postmodern, di mana gender tidak dianggap sebagai esensi yang tetap, tetapi sebagai sesuatu yang dapat dinegosiasikan dan dipertanyakan.
Feminisme postmodern memandang gender sebagai konstruksi sosial, bukan sesuatu yang bersifat alami atau biologis. Amber Liu menjadi representasi bagaimana identitas gender dapat diubah sesuai dengan konteks sosial dan pribadi seseorang. Di dalam masyarakat Korea yang masih sangat patriarkal, tindakan Amber untuk menolak konformitas gender tradisional memberikan contoh kuat tentang bagaimana perempuan dapat memberdayakan diri mereka dengan cara meruntuhkan narasi-narasi lama tentang gender.
Pengaburan antara Komersialisme dan Pemberdayaan
Feminisme postmodern juga sering mengkritik gagasan bahwa pemberdayaan perempuan harus sesuai dengan satu ideologi tertentu. Dalam konteks K-pop, artis seperti HyunA menggunakan sensualitas sebagai alat untuk mengontrol citra dirinya. Namun, representasi ini menimbulkan perdebatan, karena banyak yang melihatnya sebagai bentuk eksploitasi seksual oleh industri hiburan.
Grup K-pop seperti (G)I-DLE turut memainkan peran penting dalam memberdayakan perempuan dengan karya-karya mereka yang menentang norma tradisional. Dalam lagu seperti Tomboy dan NXDE, mereka dengan berani meruntuhkan stereotip perempuan yang pasif atau lemah dengan menampilkan sosok perempuan yang kuat, independen, dan berani melawan norma yang ada. Dari perspektif feminisme postmodern, yang menolak konsep identitas tunggal dan kaku.Â
Dalam feminisme postmodern, tidak ada jawaban pasti apakah representasi HyunA dan  (G)I-DLE merupakan pemberdayaan atau komodifikasi. Feminisme ini menolak dikotomi antara pemberdayaan dan eksploitasi, serta menyoroti bagaimana tindakan tersebut memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada konteks sosial dan komersial. HyunA, dalam pandangan ini, menggunakan seksualitas sebagai alat subversif untuk melawan norma-norma patriarki, tetapi di sisi lain, ia juga terjebak dalam industri yang sangat mengkomersialisasi tubuh perempuan.
Penolakan terhadap Narasi Tunggal tentang Kewanitaan
Feminisme postmodern menolak pandangan bahwa ada satu cara benar untuk menjadi perempuan. Di dunia K-pop, kita melihat berbagai bentuk pemberdayaan perempuan, mulai dari artis Hwasa yang menentang standar kecantikan tradisional hingga IU yang menampilkan sisi lembut dan anggun sebagai kekuatan perempuan. Kedua bentuk ini sama-sama valid dalam feminisme postmodern, yang menekankan pluralitas identitas.
Feminisme ini mengakui bahwa kekuatan dan pemberdayaan dapat muncul dari berbagai bentuk, termasuk kerentanan dan emosi. Dalam hal ini, artis seperti IU menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi kuat melalui ekspresi emosi mereka, menantang stereotip tradisional tentang kekuatan perempuan yang hanya berkaitan dengan ketangguhan fisik atau dominasi.