Masalah Kekerasan Seksual di Korea Selatan
Kekerasan seksual di Korea Selatan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual berbasis dunia maya. Salah satu bentuk kekerasan seksual yang berkembang pesat adalah penggunaan teknologi deepfake, yang secara tidak sah menggunakan citra perempuan dalam konten pornografi tanpa persetujuan mereka. Data menunjukkan peningkatan signifikan sejak tahun 2018, dimana kasus kekerasan seksual online telah melonjak 11 kali lipat. Pada tahun 2020 saja, dari 793 kasus yang dilaporkan, hanya 16 pelaku yang berhasil ditangkap, menunjukkan ketidakmampuan sistem hukum untuk mengimbangi perkembangan teknologi yang disalahgunakan untuk tujuan kekerasan seksual.
Tidak hanya kekerasan seksual di dunia maya yang menjadi perhatian, tetapi juga angka kekerasan seksual secara keseluruhan yang terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Menurut data dari Korea Women's Development Institute (KDWI), angka kasus kekerasan seksual di Korea meningkat setiap tahun. Pada tahun 2012, tercatat ada 21.346 kasus kekerasan seksual, dan angka ini mencapai puncaknya pada tahun 2015 dengan 31.663 kasus. Angka-angka ini menempatkan Korea Selatan sebagai salah satu negara dengan tingkat kekerasan seksual tertinggi di dunia.
Fakta ini sangat mengkhawatirkan, mengingat Korea Selatan adalah salah satu negara yang terlihat maju secara ekonomi dan teknologi. Namun, dibalik itu, kekerasan berbasis gender masih sangat merajalela. Kekerasan seksual tidak hanya merusak fisik dan psikologis korban, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan sistemik dan struktur sosial yang telah lama menindas perempuan.
Budaya Patriarki dan Pengaruh Konfusianisme
Salah satu penyebab utama dari tingginya tingkat kekerasan seksual di Korea Selatan adalah budaya patriarki yang kuat dan mengakar dalam masyarakat. Akar dari patriarki ini sudah ada sejak Korea masih berbentuk kerajaan dan sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Korea ini menekankan pada struktur hierarkis yang menempatkan laki-laki diatas perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial.
Dalam ajaran Konfusianisme, perempuan diharuskan untuk selalu tunduk dan patuh kepada laki-laki, baik itu kepada ayah, suami, maupun anak laki-lakinya setelah ia menikah. Perempuan dianggap sebagai "golongan kedua", di mana hak-hak mereka dibatasi oleh status dan peran gender. Konfusianisme memberikan sedikit ruang bagi perempuan untuk mengembangkan kemandirian atau untuk melawan kekuasaan laki-laki. Dalam masyarakat yang masih memegang teguh ajaran ini, perempuan tidak hanya dikekang secara sosial, tetapi juga menjadi korban ujaran kebencian dan kekerasan jika mereka melanggar peran tradisional yang telah ditetapkan.
Akibat dari budaya patriarki yang mendalam ini, diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia kerja. Perempuan sering kali dipandang sebagai simbol seksualitas semata, yang menambah risiko mereka menjadi target kekerasan seksual, baik di ruang fisik maupun di dunia maya. Tekanan sosial ini menciptakan beban yang sangat berat bagi perempuan Korea hingga hari ini.
Feminisme Postmodern, Alat Dekonstruksi Narasi Patriarki
Dari perspektif feminisme postmodern, upaya untuk memberdayakan perempuan melalui perlawanan terhadap patriarki di Korea Selatan dapat dilihat sebagai dekonstruksi terhadap narasi tradisional tentang gender dan peran perempuan. Feminisme postmodern menolak pandangan bahwa perempuan memiliki satu identitas yang tetap dan seragam. Sebaliknya, feminisme ini menekankan keragaman pengalaman, identitas, dan ekspresi yang berbeda-beda di antara perempuan.