Ibarat gas, bentuknya kasat mata, sulit dideskripsikan wujudnya, namun jelas-jelas terendus masuk indra penciuman kita.
Memerangi terorisme jelas bukan pekerjaan rumah satu-arah. Kala pemerintah bertekad membabat habis unsur ekstrimisme, rakyat nyatanya telah setiap hari diteror dalam bentuk lain. Teror dunia maya atau layar kacar yang “menghibur” namun jelas-jelas mencederai intelegensi nasional.
Entah apa yang merasuki Santoso muda, sehingga di masa dewasanya, tindak tanduknya kini ibarat lonceng teror. Ada yang bilang idealisme ngawur, ada pula yang mengatakan salah berpedoman.
Semua pasti sepakat, aksi kekerasan terorisme bikin ngeri, tapi bentuk terorisme lain oleh si “kasat mata” yang kini merajai kehidupan kita sehari-hari jelas sudah pada tingkat was-was.
Jika Santoso muda jadi “keras” karena asupan ideologi yang masuk ke otaknya, sebaliknya, bisa dibayangkan pula seperti apa pula nanti bentuk adik-adik kita yang tiap hari dicekoki hal-hal tak mendidik di layar kaca, dunia maya dan lain-lain.
Belum lama, sang gadis belia Yuyun pun jadi korban. Selidik punya selidik, walau jauh dari "peradaban", para pelaku simbol kebejatan manusia tersebut nyatanya telah terpengaruh konten pornografi yang "mulus terhidang" di ponsel mereka.
Zaman jelas berubah. Roda perputarannya tak mungkin bisa diperlambat, apalagi dihentikan. Ibarat rumah, zaman digital membuat kita tak lagi punya pagar, jendela, ataupun pintu yang bisa "ditutup".
Jika beberapa waktu lalu para sopir taksi reguler yang merasa terancam kehilangan pendapatan akibat zaman digital, pemerkosaan yang marak mungkin jadi bukti, giliran warga pedalaman yang jadi "korban" penetrasi tanpa batas teknologi modern.
Bagi beberapa orang tua yang sadar situasi ini, ada yang lantas mendidik anaknya untuk jauh dari televisi dan dunia maya. Reaksi orang tua tentu wajar, ingin memproteksi si buah hati dengan cara yang dianggap paling riil.
Seolah-olah, orang tua turut jadi korban teror yang satu ini. Dalam kebingungan, hati mereka sadar, menutup akses terhadap informasi pun jelas berisiko bagi wawasan sang anak.
Pasalnya, televisi dan ranah online ibarat gerbang pengetahuan dan masa depan. Tak bisa dibayangkan apa yang terjadi andai gerbang tersebut lantas ditutup rapat-rapat.