Oleh sebab itu, kala tertangkap atau dituntut pertanggungjawaban, tak jarang kita lihat para pesakitan sesenggukan menangis dan mengobral kata-kata menyesal. Lagi-lagi, mungkin saja sewaktu berniat jahat dahulu tak terbayang akan ada konsekuensi yang ditanggung.
Dari contoh tersebut, seharusnya cukup melegakan, karena latar belakang yang “kurang mendukung” nyatanya tak selalu berbanding lurus dalam pembentukan pribadi manusia.
Faktanya, para penggila narkoba pun tak jarang justru berasal dari kalangan orang kaya, yang logikanya tak terhambat sumber daya andai mau berinvestasi untuk memajukan dirinya.
Santoso bisa jadi seorang militan tulen, “penyelesaiannya” tentu butuh campur tangan profesional aparat keamanan. Sedangkan yang paling memprihatinkan tentu menyaksikan polah generasi “ikut-ikutan” di belakangnya.
Hal ini seolah mempertegas bahwa jumlah generasi muda Indonesia yang “not certified” masih lebih besar populasinya dibandingkan insan-insan kreatif yang Alhamdulillah kini juga terus merangkak naik angkanya.
Digempur Zaman
Jujur saja, kala ditanya seorang kawan warga negara asing, agak susah untuk menjawab apa yang jadi ciri khas generasi muda Indonesia modern?
Nyatanya, budaya Barat, India, Turki, Korea dan lain-lain malah banyak digemari di dalam negeri. Sisi positifnya dicontoh, namun celaka, yang negatifnya pun turut dipraktikkan.
Lebih memprihatinkan, pengemasan acara-acara yang berciri khas Indonesia oleh beberapa oknum media atau dunia hiburan malah terkesan jadi merendahkan budaya itu sendiri.
Wajar saja, generasi muda Indonesia yang kurang berpendirian jadi bingung dan lantas linglung untuk bersikap. Tak ayal, beberapa terbujuk ikut Santoso main “perang-perangan”.
Selalu ada harapan positif untuk masa depan Indonesia, walau di sisi lain, oleh pihak yang berbeda jelas terasa upaya untuk menggerus identitas negeri lewat bungkusan-bungkusan “banyolan” tak mendidik.