Mohon tunggu...
Destyan
Destyan Mohon Tunggu... Wartawan -

Individu yang 'banting stir' dan kemudian dihadapkan pada fakta bahwa stir tersebut ternyata 'patah'. Lantas berimprovisasi dengan pedoman "As long as the wheels still moving forward, then it still count as a go..." Bisa dilacak keberadaannya di http://bit.ly/1mTP9I5

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

MEA, Kawan atau Lawan?

14 Februari 2016   21:30 Diperbarui: 14 Februari 2016   21:53 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Jakarta - Untuk urusan kemeriahan pesta kembang api di setiap pergantian tahun baru, Indonesia cukup 'kompetitif' diantara negara lainnya. Kini giliran MEA yang datang, bagaimana peluang Indonesia?

Untuk urusan ‘keroyokan’ angka populasi jumlah penduduk, Indonesia jelas berhak menyandang predikat ‘undisputed winner’, tapi lagi-lagi muncul pertanyaan klise yang jadi batu sandungan di era globalisasi, apa kuantitas tok masih kompeten untuk jadi yang paling berkualitas?

Jawabannya tentu sulit-sulit gampang, mengingat di dalam hati kecil kita, masih terdapat kekhawatiran apakah SDM bentukan Indonesia, terutama untuk bidang tenaga kerja yang masuk zona-bebas pertukaran antar negara ASEAN sudah cukup kompetitif.

Bisa jadi, MEA ibarat zaman 'perang dingin', dimana pertempuran kualitas SDM memang benar-benar akan atau telah terjadi, walaupun 'apinya' tersimpan dalam 'sekam' bertajuk ‘kepentingan bersama’.

Kerap dikatakan, pemberlakukan MEA yang melibatkan 10 negara di Asia bertujuan untuk secara efektif mempromosikan perdagangan antar-ASEAN, dan membantu wilayah regional tersebut mempekuat serta optimalisasi pertumbuhan ekonomi.

Lagi-lagi, menilik tujuan yang tertuang dalam kalimat tersebut, tampak jelas akan terjadi persaingan SDM di balik terbukanya peluang yang ditawarkan atas akses perdagangan dan tenaga kerja.

Oleh sebab itu, sorotan sesungguhnya di tahun 2016 bukanlah pada semeriah apa penyambutan awal tahun baru 2016 ini, melainkan pada bagaimana Indonesia bertahan di musim awal klasemen negara-negara ASEAN dalam kompetisi yang dijuluki MEA.

Memang, MEA ibarat ‘lagu lama’. Jauh-jauh hari, gaungnya sudah kerap didengungkan. Tapi, secara psikologis bisa jadi tak dianggap cukup serius karena pepatah "sedia payung sebelum hujan" kerap berganti menjadi "sedia payung setelah hujan".

Gampangnya, jika tak disikapi bijaksana oleh sang individu tenaga kerja maupun pemerintah, ibarat bumerang, MEA tentu bisa berbalik arah membawa lebih banyak tantangan dibanding keuntungan di depan mata.

 

Kawan atau Lawan?

Dari sisi kualitas tenaga kerja, Indonesia bukannya tak mampu menghasilkan tenaga kerja mumpuni. Seringkali kita berdecak kagum pada menonjolnya prestasi anak bangsa di mata internasional. Namun nyatanya, penyebaran dan kesetaraan SDM berkualitas di negara kepulauan ini juga bikin was-was.

Contoh nyata, dalam sebuah data yang dirilis, skor English Proficiency Average dari EF, Indonesia masih di bawah kompetitor utama dua negara ASEAN utama lainnya, yaitu Malaysia dan Singapura. Namun, skor itu hanya di titik-titik kota besar, Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta sebagai pemuncak.

Singkatnya, lagi-lagi bisa saja terjadi, segelintir SDM Indonesia mampu mengecap manisnya peluang yang difasilitasi MEA tersebut, namun sebagian besar lainnya jangan-jangan harus gigit jari.

Ekspor tenaga kerja terlatih? Alih-alih dilakukan, kita mungkin sibuk mengatur pertahanan agar tenaga kerja di dalam negeri bisa surviving another day dari gempuran asing.

Hubungan antara Indonesia dan Malaysia contohnya.

Sudah jadi rahasia umum, Indonesia dan Malaysia ibarat kawan dan lawan dalam berbagai bidang. Bukan kali pertama masyarakat Indonesia meradang akibat karya bangsa, seperti Batik, secara sepihak diklaim si tetangga Jiran.

MEA pun ibarat keran air, di mana peluang dan ancaman bisa sama-sama mengalir.

Kabar pun tersiar, jika bekas koloni Inggris tersebut telah berniat menjadikan negaranya sebagai sentra UKM ASEAN. Indonesia tentu saja wajib waspada atas potensi Malaysia atas hal tersebut.

Pasalnya, UKM dan UMKM jelas porsi strategis Indonesia jika melihat kekuatan jumlah penduduk dan luas wilayah yang ada. Atas dasar itu, Indonesia punya ‘hak’ untuk memimpin negara lain dalam bidang tersebut. Mungkinkah diwujudkan?

Di atas kertas tentu sangat mungkin, namun ‘kertas’ saja tentu tak cukup. Dibutuhkan program jelas berkelanjutan untuk membawa apa yang ada di atas kertas ke dalam keunggulan persaingan dunia nyata.

 

Mental

Kala menyangkut kompetisi, mental jadi modal yang utama. Mempersiapkan diri untuk kompetisi terbuka tentu tak sekedar berbekal ‘pedang’ kemampuan, tapi juga ‘tameng’ mentalitas.

Sebelum MEA menyalak, gelombang tenaga asing nyatanya sudah banyak hadir di Indonesia. Bedanya dengan negara lain, pekerja asing tersebut terstigma diunggulkan karena mengisi sektor tenaga kerja ahli di berbagai bidang.

Gampangnya, bukan pemandangan lazim di Indonesia melihat tenaga lapangan dari luar negeri, seperti sopir taksi, petugas penyapu jalan, dan lain-lain. Tapi, melihat eksekutif berjas asal negara asing sudah jadi pemandangan biasa di jantung pusat-pusat bisnis dan komersil Ibu Kota.

Secara umum, Indonesia sendiri sudah banyak berbenah. Semakin banyak anak negeri yang mengisi posisi-posisi strategis, bahkan di perusahaan-perusahaan asing yang ada di Tanah Air.

Indonesia wajib jadi tuan rumah di negeri sendiri, dan sekedar menjamu tenaga kerja asing secara proporsional. Menjadi langkah yang patut diapresiasi jika para tenaga kerja asing diwajibkan peraturan untuk menguasai Bahasa Indonesia. 

 

Faktor Plus

Walau Indonesia masih memiliki catatan dalam hal kesetaraan kualitas SDM, Indonesia nyatanya punya senjata yang dapat diandalkan, yaitu pada kekayaan kepemilikan SDA.

Ada baiknya, momentum MEA turut dijadikan berbagai pihak di negeri ini untuk mengesampingkan perbedaan latar belakang, pandangan politik, keidolaan, dan bersatu sebagai satu Indonesia.

Seperti dikatakan Presiden Joko Widodo, suka tak suka, mau tak mau, MEA ibarat tamu yang pasti datang berkunjung. Indonesia perlu selektif dan meraih keunggulan dari berbagai hal yang tak dimiliki negara lain, baik dari sisi SDA dan SDM.

Seperti dikutip dari salah satu media nasional, CPO contohnya, menjadi keunggulan SDA Indonesia. Sedangkan industri kreatif Indonesia potensial untuk merajai wilayah ASEAN dengan keseriusan dukungan pemerintah.

Kembali, seperti diwacanakan Presiden, diperlukan mindset yang positif untuk bisa bersaing maksimal di zona keterbukaan yang telah disepakati para negara ASEAN tersebut.

Indonesia, sudah siap…? Yuk bersaing dan raih peluang...

---

destyan@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun