Dari sisi kualitas tenaga kerja, Indonesia bukannya tak mampu menghasilkan tenaga kerja mumpuni. Seringkali kita berdecak kagum pada menonjolnya prestasi anak bangsa di mata internasional. Namun nyatanya, penyebaran dan kesetaraan SDM berkualitas di negara kepulauan ini juga bikin was-was.
Contoh nyata, dalam sebuah data yang dirilis, skor English Proficiency Average dari EF, Indonesia masih di bawah kompetitor utama dua negara ASEAN utama lainnya, yaitu Malaysia dan Singapura. Namun, skor itu hanya di titik-titik kota besar, Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta sebagai pemuncak.
Singkatnya, lagi-lagi bisa saja terjadi, segelintir SDM Indonesia mampu mengecap manisnya peluang yang difasilitasi MEA tersebut, namun sebagian besar lainnya jangan-jangan harus gigit jari.
Ekspor tenaga kerja terlatih? Alih-alih dilakukan, kita mungkin sibuk mengatur pertahanan agar tenaga kerja di dalam negeri bisa surviving another day dari gempuran asing.
Hubungan antara Indonesia dan Malaysia contohnya.
Sudah jadi rahasia umum, Indonesia dan Malaysia ibarat kawan dan lawan dalam berbagai bidang. Bukan kali pertama masyarakat Indonesia meradang akibat karya bangsa, seperti Batik, secara sepihak diklaim si tetangga Jiran.
MEA pun ibarat keran air, di mana peluang dan ancaman bisa sama-sama mengalir.
Kabar pun tersiar, jika bekas koloni Inggris tersebut telah berniat menjadikan negaranya sebagai sentra UKM ASEAN. Indonesia tentu saja wajib waspada atas potensi Malaysia atas hal tersebut.
Pasalnya, UKM dan UMKM jelas porsi strategis Indonesia jika melihat kekuatan jumlah penduduk dan luas wilayah yang ada. Atas dasar itu, Indonesia punya ‘hak’ untuk memimpin negara lain dalam bidang tersebut. Mungkinkah diwujudkan?
Di atas kertas tentu sangat mungkin, namun ‘kertas’ saja tentu tak cukup. Dibutuhkan program jelas berkelanjutan untuk membawa apa yang ada di atas kertas ke dalam keunggulan persaingan dunia nyata.
Â