Mohon tunggu...
Destri Mairoza
Destri Mairoza Mohon Tunggu... Guru - Starting Point in Writing

Nama lengkap Destri Mairoza dengan panggilan Roza, kelahiran Nagari Taruang-taruang pada tanggal 3 Mei 1987. Saat ini bekerja sebagai pengajar di SMAN 1 Bukit Sundi Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjalanan Si Tukang Beruk (Part 4)

19 Februari 2020   14:57 Diperbarui: 24 Februari 2020   12:42 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayo, Can. Silahkan masuk?" ujar Pak Ali membuyarkan fikirannya yang sudah jauh entah kemana.

"Kenapa mamak ada di sini? Ibu baik-baik saja kan, Mak?" tanyanya seolah-olah sudah mengetahui apa yang terjadi di rumah.

Benar saja, perasaan tak enak yang sedari tadi meliputi pikirannya terjawab sudah dengan kedatangan Mamaknya untuk menjemput pulang. Ternyata sepeninggalnya berangkat ke sekolah tadi, Ibunya tak lagi kuat bertahan karena sudah sangat lemah. Muntah dan diare yang dialami sang ibu tak pernah berhenti dan beliau pun tak mau makan dan minum.

Tanpa banyak berbicara, setelah pamit kepada majelis guru, Ican bersama Mamaknya melangkah segera menuju sebuah sepeda ontel tua yang disewa dari Uda Miun dengan harapan bisa segera sampai ke sekolah Ican. Namun sepeda itu tak lagi ada gunanya karena rute perjalanan pulang yang menanjak tentu akan semakin membuat mereka lelah. Terpaksalah Mamaknya menuntun sepeda itu sambil berjalan di samping Ican yang tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Dia hanya ingin segera sampai ke sisi Ibunya yang sekarang sudah tak lagi bergerak. Dia tak sempat mengucapkan maaf kepada Ibunya. Dia belum bisa membahagiakan Ibunya. Banyak lagi sesal yang menari-nari di dalam pikirannya. Dia hanya ingin segera menggenggam tangan Ibunya.

Tak peduli keringat yang membasahi pakaiannya, dia segera menghampiri jenazah Ibunya di dalam rumah begitu sampai di sana. Digenggamnya tangan sang ibu yang sudah dingin dan tak lagi bergerak. Dipandanginya wajah pucat ibunya tanpa ada sepatah kata pun yang terlontar. Di sampingnya sudah duduk kakaknya yang sepertinya menangis tak henti karena matanya yang sembab. 

"Can, kita selenggarakan Ibu lagi ya. Kita cuma menunggu kamu pulang." kalimat ayahnya membuatnya tersadar dari tangis luka di dalam hatinya. Kehilangan sosok yang sangat dicintai seakan-akan membuatnya remuk. Tapi dia segera sadar bahwa janjian ibunya sudah sampai, dan tidak ada satu pun makhluk yang bisa menawarnya untuk dimajukan atau untuk dimundurkan. 

Dengan tegar dia bangkit dan memapah kakaknya. Dia mengikuti seluruh prosesi penyelenggaraan jenazah Ibunya, mulai dari memandikan, mengkafani, saat  menyalatkan dialah yang menjadi imamnya, dan terakhir menguburkan. Sampai ketika gundukan tanah merah terbentuk, dia tetap tak bergumam. Namun semua pelayat mengetahui bahwa lukanya sangatlah dalam.

Tengah malam itu dia terbangun dan dalam kesendirian dia mengingat Ibunya. Disitulah air matanya menetes. Tanpa pikir panjang, dilangkahkan kaki nya menuju 'kulah' tempat menampung air dan dia pun berwudhu. 

Diadukannya semua gundah yang dirasakannya sambil terus berurai air mata di sajadah. Hanya kepada Allah lah dia sanggup memperlihatkan sedihnya yang teramat dalam atas meninggalnya sang Ibu. 

Sempat terfikir untuk menghentikan langkahnya, tapi dia menyadari bahwa sedikit lagi dia akan selesai di jenjang itu. Walaupun Ibunya tak ada lagi di sisinya tapi dia yakin bahwa kesuksesanlah yang menjadi impian terakhir ibunya.

Ican bangkit, dilipatnya sajadah, dibukanya buku pelajaran dimana esok dia akan ujian hari kedua. Dia bertekad akan menjadi yang terbaik. Semua untuk Ibunya.

Pengumuman hasil Ujian Negara tak lama lagi akan disampaikan oleh kepala Madrasah. Tak ada yang menyangka dengan hasil pengumuman itu dimana Ican yang sedang dalam masa berkabung menjalani Ujian Negara ketika sang ibu meninggal, menjadi peraih nilai tertinggi, bukan hanya di sekolahnya tapi di Sumatera Barat. Sekolahnya sangat bangga kepada prestasinya. Bahkan pihak Kanwil menjanjikan akan menyekolahkannya ke Mesir sebagai penghargaan atas prestasi yang diraihnya.

Mendengar hal itu, ayahnya tentu saja sangat senang. Anak laki-lakinya akan bersekolah di negeri yang merupakan salah satu negeri peradaban islam di dunia, Mesir. Mereka menunggu informasi lanjutan dengan penuh harap. Menunggu dan terus menunggu. Tapi berita yang ditunggu itu tak kunjung datang.

Suatu hari ketika Ican pergi ke surau tempatnya belajar mengaji, dia disapa oleh gurunya yang juga sudah seperti orang tuanya. 

"Jadi kamu ke Mesir, Can?" tanya Pak Kiraman. Ican hanya mengangkat bahu lesu menunjukan ketidak tahuannya. 

"Janganlah bersusah hati, di Bukittinggi ada juga Madrasah yang bagus. Besok lusa Apak akan kesana, kamu boleh ikut kalau mau. Sambil melihat-lihat dan mencari cadangan seandainya  tidak jadi ke Mesir", tawaran itu langsung disetujuinya tanpa pikir. Karena sudah hampir sebulan tak ada berita tentang informasi ke Mesir. Ada sedikit patah semangat untuk melanjutkan pendidikan, apalagi ke Mesir. Belum lagi kepastian yang tak kunjung datang.

Dimanakah Ican akan melanjutkan pendidikannya?

Temukan jawabannya di Perjalanan Si Tukang Beruk (Part 5)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun