Melihat beberapa kejadian yang viral di sosial media, salah satunya video kejadian dimana seorang Ibu memaksa anaknya yang kira-kira berusia sekitaran siswa SD untuk belajar Matematika. Yah, namanya juga anak-anak, di dalam pikirannya saat ini belum lah bisa seratus persen fokus kepada pelajaran. Dunianya saat ini masih dominan bermain.Â
Diawali dengan pertanyaan hitungan dari Ibunya, kelihatan si bocah agak kebingungan menjawab sehingga beberapa kali dia menjawab dengan jawaban yang salah. Paksaan demi paksaan yang disertai hardikan dari si Ibu, membuat si bocah merasa takut dan terlihat tertekan. Dia terus menjawab apa yang ditanya ibunya sambil juga terus terisak mengeluarkan air mata. Tapi dia juga tak kunjung menemukan jawaban yang benar. Sampai akhirnya si Ibu terus memarahinya yang mengakibatkan si bocah mulai memukul-mukul kepalanya menggunakan tangannya sendiri.Â
Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Mungkin dia berteriak memohon agar berhenti belajar, atau mungkin saja dia menganggap dirinya terlalu bodoh sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan dari Ibunya. Atau mungkin saja dia merasa sangat terintimidasi karena tindakan orang yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung.
Entah dari mana video tersebut berasal, namun yang perlu dilihat adalah cara seorang Ibu mengajar anaknya sangatlah tidak patut untuk ditiru. Kesan pemaksaan sangat terlihat jelas.Â
Padahal bagi anak-anak mereka belum bisa dipaksakan untuk belajar. Mereka diarahkan untuk belajar sambil bermain agar mereka tidak merasa bosan.
Lain cerita di sebuah SMA. Saat pengumuman juara kelas di akhir semester, terlihat raut wajah kecewa dari salah seorang Ibu dan raut wajah sedih dari anaknya.Â
Bukan karena si anak tidak menjadi peringkat kelas, tapi karena dia hanya mendapatkan peringkat ketiga di kelasnya. Biasanya dia mendapatkan peringkat kedua, tapi kali ini sahabatnya yang menggantikan posisinya itu.
Apa yang terjadi setelah liburan?
Si anak tadi mulai menjauhi sahabatnya karena menurutnya sahabatnya telah merebut posisinya dan membuat ibunya kecewa akan pencapaiannya.Â
Apakah anak ini salah? Tidak. Dia sama sekali tidak salah. ambisi orang tuanya lah yang membuat dia jadi membenci seseorang hanya karena peringkat kelas.Â
Raut wajah kecewa yang diperlihatkan ibunya membuat dia merasa bersedih karena telah mengecewakan orang tuanya. Ditambah lagi anggapan sang Ibu yang seolah-olah menyalahkan sahabatnya atas prestasinya yang turun.
Kita harus menyadari bahwa sebenarnya anak-anak itu diciptakan dengan keunikan yang berbeda-beda. Mungkin anak kita tidak mampu pada mata pelajaran Matematika, karena di masa depan dia akan menjadi salah seorang Atlet yang hebat dan sukses.Â
Mungkin dia tidak pernah mendapatkan peringkat kelas, karena bisa jadi nantinya di masa depan dia menjadi seorang musisi terkenal. Mungkin dia tidak mahir di mata pelajaran kimia, karena suatu saat nanti dia berhasil menjadi pemilik perusahaan besar.
Potensi anak tidak bisa diukur dari angka-angka. Mereka memiliki bakat dan keunikan masing-masing. Tinggal bagaimana kita sebagai orang tua mampu mengarahkan bakatnya dengan baik dan mendukung proses yang sedang dilaluinya. Bukan hanya terfokus pada angka yang saat ini sistemnya bisa di remedial.Â
Jangan biarkan anak-anak penerus kita menjadi seseorang yang tertekan hanya karena keegoisan dan ambisi orang tua. Karena mereka adalah titipan dari yang maha kuasa.Â
Solok, 10 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H