Saya berlari menembus hawa dingin yang menggelitik tekuk yang tertutup. "Ini akan menjadi perjalanan paling berkesan," kata saya dalam hati. Saya pun mempercepat langkah kaki dan segera melompat ke dalam S-Bahn (kereta).
***
Pada tahun 2010 lalu, perubahan iklim di beberapa tempat di dunia menjadi amburadul, terutama di benua Eropa. Saya yang berkesempatan menjejakkan kaki di Negeri Tembok Berlin itu dibuat kelimpungan karena tidak membawa jaket tebal. Musim panas yang di bayangan saya itu panas dan bersuhu rata-rata 35 derajat ke atas, ternyata hanya berkisar antara 15-20 derajat Celcius. Terlebih, hujan deras berangin sering muncul secara tiba-tiba di tengah hari yang cerah.
Beberapa teman yang kebetulan sama-sama mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar dari DAAD (lembaga pertukaran pelajar Jerman) satu per satu jatuh sakit. Ada yang flu dan ada pula yang batuk. Beruntung saya masih bugar dan tak terkena penyakit apapun. Karena jika tidak, itu akan sangat mengganggu mobilitas saya selama di sana. Apalagi kepergian saya ke Jerman bertepatan dengan bulan suci Ramadan. Saya yang sebelumnya tidak pernah menjalankan ibadah puasa di luar Indonesia, harus mampu beradaptasi dengan cepat. [caption id="attachment_289975" align="aligncenter" width="400" caption="Pemandangan asrama Heinrich-Heine University, tempat saya tinggal selama 28 hari di Duesseldorf"][/caption]
Pagi itu, saya beranjak dari tempat tidur lebih awal dari biasanya, pukul 5 pagi. Setelah makan sahur pukul 3, saya kemudian memejamkan mata sejenak untuk melepas lelah. Adanya perbedaan waktu di Indonesia dan Jerman, membuat saya harus membatalkan puasa pukul 10 malam. Lengkap sudah cobaan saya!. Cuaca yang tidak menentu didukung jadwal puasa yang sangat panjang, membuat fisik saya hampir loyo.
Setelah seminggu mengikuti kursus yang diselenggarakan oleh lembaga bimbingan setempat, akhir pekan pertama saya habiskan dengan berjalan-jalan di Cologne. Kontrak beasiswa saya kebetulan hanya berlaku selama 28 hari di Jerman. Bermodal uang 2 juta (sekitar 160 euro) dan membawa makanan seperti mi, susu, dan bubur instan, dari Indonesia, saya berhasil hidup selama hampir sebulan di Jerman. Beasiswa saya kala itu meliputi, biaya kursus, tempat tinggal, visa, asuransi, dan tiket pesawat, sementara untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk buku, makan, dan biaya perjalanan selama di Jerman, harus saya tanggung sendiri. Hidup dengan uang sedemikian minim tentu membuat saya harus super irit. Setibanya di Duesseldorf (kota yang saya pilih untuk mengikuti kursus musim panas selama sebulan), saya harus membayar berbagai macam tagihan, seperti tiket kereta selama sebulan (40 euro), buku (40 euro), dan tiket wisata Cologne (20 euro). Total sisa uang saya saat itu hanya 60 euro. Saya cuma bisa garuk-garuk kepala ketika menggenggam uang yang tinggal sedikit itu. Dalam hati, saya bertanya-tanya, "Apa cukup kalau cuma segitu?", "Kalau saya butuh apa-apa gimana?", "Siapa yang bisa meminjami saya uang kalau tiba-tiba saya kepepet?". Semua pertanyaan itu berputar-putar di otak saya. Saya kembali memantapkan hati dan berjanji untuk tetap tegar selama 27 hari ke depan. Dan petualang "gila" ini dimulai. 1 euro per hari Sisa uang 60 euro atau sekitar Rp 750.000 (waktu itu 1 euro = Rp12.500) itu kemudian menjadi pegangan saya selama 27 hari ke depan. Banyak orang yang mendengar ini akan mengatakan mustahil atau bahkan terlalu mengada-ada, tapi bagi saya tidak. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, selama kita percaya pada mukjizat Tuhan. Saya pun menyusun strategi dengan membelanjakan uang itu 1 euro per hari. Kalau dijumlah, saya hanya akan menghabiskan 27 euro untuk 27 hari. Selama di Jerman, spaghetti lah yang menjadi "sahabat setia" saya di meja makan. Satu bungkus spaghetti ukuran 1000 gram saat itu berharga 80-90 sen (Rp 10.000-11250), sedangkan sebotol saus Bolognese (sekitar 250-300 gram) hanya 1,25 euro (Rp 15.600). Sebotol saus Bolognese habis dalam 2-3 hari, sementara 1000 gram spaghetti bisa dimasak menjadi 5 porsi (atau 5 kali makan). Selain makan spaghetti, saya biasanya menyantap bahan-bahan perbekalan yang saya bawa dari Indonesia, seperti mi instan, bubur instan, bumbu pecel, susu, dan kering tempe. Taktik jitu ini ternyata sangat efektif untuk menyokong kebutuhan makan saya selama di Jerman. Bantuan lain datang dari seorang kakak tingkat yang kini telah menetap dan berkuliah di Jerman, yang ternyata adalah teman SD dari sepupu saya. Semua pun berawal dari sebuah kebetulan. Sepupu menitipkan sesuatu pada saya untuk disampaikan kepada temannya yang kabarnya adalah kakak tingkat saya di kampus. Saya tentu tidak benar-benar mengenalnya karena kami memang beda angkatan. Saya angkatan 2007, sementara Mbak Vania (teman sepupu saya) angkatan 1999.
[caption id="attachment_290777" align="aligncenter" width="322" caption="Saya, Mark (suami Mbak Vania), dan Mbak Vania saat janjian bertemu di depan Katedral Cologne"]
Cologne, antara katedral dan Sungai Rhein
Saya berlari melewati kerumunan orang yang lalu-lalang di depan Duesseldorf Hauftbahnhof (Stasiun Utama Duesseldorf). Tepat pukul 7 saya sudah tiba di pelataran depan stasiun. Peter, pria berbadan tegap dengan tinggi mencapai 190 meter, sudah menunggu saya dan rombongan lain di sana. Dialah pemandu wisata yang akan mengantar kami ke Cologne.
Kali ini tak ada jam karet alias terlambat. Semua datang tepat waktu dan segera menyerahkan tiket yang telah dipesan kepada Peter. Petualangan saya lalu dimulai ketika kereta bergerak pelan menuju Cologne Hauftbahnhof (Stasiun Utama Cologne), yang hanya ditempuh sekitar 20 menit.
Jantung saya berdegup kencang ketika itu, karena pengalaman ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Saya yang hanya anak kampung yang tinggal di sebuah kota kecil, Malang, telah memimpikan perjalanan ini sejak SMA. Bermula dari melihat sebuah foto katedral megah bergaya gotik dan keindahan Sungai Rhein yang memesona, dalam hati saya bertekad untuk bisa pergi ke Cologne. Mimpi itu pun terwujud setelah enam tahun menanti. [caption id="attachment_289966" align="alignleft" width="282" caption="Berpose di depan Katedral Cologne"]
Koleksi benda sejarah di koelnisches Stadtmuseum
Kaki saya kemudian diajak melangkah lebih jauh untuk menikmati keindahan kota tua Cologne. Kota terbesar keempat di Jerman itu juga memiliki sebuah museum yang menyimpan berbagai benda sejarah dan koleksi penting dari kota tersebut. Saat sedang asyik melihat-lihat, sosok oranye dengan gaya super nyentrik itu menarik saya untuk memandanginya lama-lama. Pria ganteng itu bernama Ford Taunus 17 M, 1960-1964.
[caption id="attachment_289972" align="alignleft" width="300" caption="Si ganteng Ford Taunus 17 M"]
Pada tahun 1960, Ford-Werke GmbH (Ford Jerman) memperkenalkan Ford Taunus 17 M. Ini adalah desain ketiga yang dirancang oleh Ford Jerman yang rencananya saat itu akan diluncurkan setelah perang. Untuk itu, proyek ini pun kemudian dikenal sebagai Ford Project 3 (P3) atau Ford Taunus P3. Menariknya, desain mobil ini dulu sempat dijuluki Badewanne (atau bak mandi) oleh pers.
Eksotika Sunga Rhein
Perjalanan saya selanjutnya kembali ke titik awal keberangkatan, yakni Katedral Cologne. Dari situ, saya dan rombongan diajak Peter untuk menikmati panorama di pinggiran Sungai Rhein. Sebagian besar turis terlihat asyik berjemur dan menikmati guyuran sinar matahari yang agak malu-malu pagi itu. Sementara itu, kafe-kafe kecil yang menjamur di pinggiran Rhein sudah siap menghidangkan berbagai menu lezat bagi para pelancong yang kelaparan dan ingin melepas dahaga.
Peter kemudian mengenalkan pada kami sebuah minuman khas Cologne yang disebut Koelsch. Kali ini, saya hanya bisa mendengarkan penjelasannya tentang keistimewaan minuman tradisional tersebut tanpa bisa mencicipinya. Koelsch adalah bir lokal yang populer di Cologne, Jerman. Bir ini memiliki warna kuning cerah dan memiliki rasa yang tidak terlalu pahit. Beberapa teman non-Muslim yang berkesempatan mencicipi Koelsch, juga menggambarkan dekripsi yang sama seperti yang dikatakan Peter barusan.
Inilah sekelumit catatan perjalanan saya di kota tua Cologne, Jerman. Ada dua tempat lagi yang ingin saya kunjungi setelah Cologne, yakni Suriname dan Chiang Mai. Keinginan saya mengunjungi Suriname dikarenakan adanya hubungan sejarah yang erat antara Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, dengan negara tersebut. Sementara itu, Chiang Mai adalah kota budaya di Thailand yang menyimpan berbagai keindahan eksotis yang patut untuk dikunjungi.
Semoga mimpi saya ini bisa diwujudkan oleh SilkAir, maskapai penerbangan Singapura yang sudah tak diragukan lagi pelayanannya. Anak perusahaan dari Singapore Airlines ini juga menawarkan rute ke tujuan-tujuan eksotis di Asia Tenggara, India dan Republik Rakyat China. Rute SilkAir dapat dilihat di sini! :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H