Mohon tunggu...
Destaria Soeoed
Destaria Soeoed Mohon Tunggu... Lainnya - Young professional in edutech.

Doctoral student in Political Science. Passionate about edutech, digital marketing, social and political research in Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kritik Terhadap Integritas Institusi Pendidikan Dalam Sidang S3 Bahlil: Fenomena yang Memprihatinkan

18 Oktober 2024   16:38 Diperbarui: 18 Oktober 2024   16:47 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pendidikan di kaki Penguasa. (AI)

Baru-baru ini, jagat akademis dan publik di Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan tentang sidang S3 Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Acara yang seharusnya menjadi puncak dari perjalanan akademik seorang kandidat doktor justru menjadi bahan perdebatan dan kritik di berbagai kalangan.

Ada yang mempertanyakan kelayakan dan integritas proses pendidikan tinggi, khususnya mengenai bagaimana proses sidang tersebut berlangsung, kecepatan dalam menyelesaikan program, serta isu-isu yang berkaitan dengan kredibilitas institusi pendidikan yang terlibat.

Pertanyaan tentang Proses Akademik dan Kelulusan

Kritik utama yang mencuat dalam kasus ini adalah seputar waktu penyelesaian studi. Tidak sedikit yang mempertanyakan bagaimana Bahlil bisa menyelesaikan program doktoralnya dalam waktu yang relatif singkat, terutama mengingat jadwalnya sebagai pejabat tinggi negara yang sangat padat.

Banyak akademisi dan pengamat pendidikan yang mempertanyakan apakah proses belajar mengajar, riset, serta pembimbingan dilakukan secara intensif dan sesuai dengan standar pendidikan tinggi.

Hal ini mengarah pada dugaan bahwa ada ketidakjelasan proses akademik yang dilakukan, atau adanya keistimewaan yang diberikan oleh institusi pendidikan. Apabila benar, hal ini bisa merusak kredibilitas lembaga pendidikan terkait dan juga standar kualitas lulusan S3 di Indonesia.

Integritas Institusi Pendidikan Dipertanyakan

Lebih dari sekedar kasus individual, persoalan ini menyentuh isu integritas institusi pendidikan di Indonesia. Lembaga pendidikan tinggi seharusnya berdiri sebagai benteng moral dan intelektual, menjunjung tinggi integritas akademik, dan menghindari praktik-praktik yang dapat mencoreng reputasinya.

Apabila proses akademik dapat dilalui dengan mudah oleh seseorang yang memiliki jabatan atau koneksi tertentu, maka hal ini mengindikasikan adanya masalah struktural dalam sistem pendidikan tinggi, yang dapat mengancam kredibilitas seluruh lulusan dari institusi tersebut.

Penting bagi lembaga pendidikan untuk menunjukkan transparansi dalam setiap tahapan proses akademik, terutama dalam hal penerimaan, pengujian, hingga kelulusan mahasiswa pascasarjana. Ini penting agar tidak ada kesan bahwa gelar akademik dapat diperoleh dengan mudah tanpa memenuhi standar akademik yang seharusnya.

Komparasi antara Program S3 Reguler dan Jalur Riset, cepat mana?

Berdalih cepatnya studi Bahlil karena ia menempuh S3 Jalur Riset, mari kita kaji komparasi antara jalur Riset dan Reguler. Dalam memahami perbedaan proses yang dilalui oleh kandidat S3, penting untuk mengulas dua jalur utama dalam program doktoral di Indonesia: S3 Reguler dan S3 Jalur Riset.

Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, dan ketidaksamaan inilah yang kadang-kadang menimbulkan persepsi bahwa ada "jalur cepat" yang bisa dimanfaatkan oleh kalangan tertentu.

  1. Program S3 Reguler:

    • Kurikulum Terstruktur: Mahasiswa wajib mengikuti sejumlah mata kuliah wajib yang bertujuan untuk memperkuat dasar teori dan metodologi penelitian. Biasanya, ini mencakup perkuliahan selama 1-2 semester pertama.
    • Waktu Studi Lebih Panjang: Karena harus mengikuti perkuliahan, menyusun proposal, dan baru bisa memulai penelitian, durasi program ini cenderung lebih panjang (3-5 tahun).
    • Proses Evaluasi Ketat: Mahasiswa harus melewati beberapa tahapan evaluasi, termasuk ujian proposal, seminar hasil, dan sidang tertutup sebelum akhirnya mengikuti sidang terbuka. Ini bertujuan untuk memastikan kualitas penelitian dan kesiapan mahasiswa.
    • Publikasi Ilmiah: Syarat kelulusan melibatkan publikasi di jurnal bereputasi, yang harus melalui proses peer-review yang sering memakan waktu lama.
  2. Program S3 Jalur Riset:

    • Fokus pada Penelitian: Program ini didesain untuk kandidat yang sudah memiliki latar belakang riset kuat, misalnya sudah terlibat dalam penelitian besar atau memiliki karya ilmiah yang diakui. Karena itu, mereka dapat langsung memulai penelitian tanpa harus melalui perkuliahan yang intensif.
    • Waktu Studi Bisa Lebih Singkat: Karena tidak ada kewajiban mengikuti kuliah, kandidat bisa menyelesaikan program lebih cepat jika penelitian dan publikasi mereka sudah matang. Jalur ini sering kali dimanfaatkan oleh profesional yang ingin mendapatkan gelar doktor sambil tetap bekerja penuh waktu.
    • Persyaratan Riset Lebih Ketat: Meskipun waktunya lebih singkat, jalur riset tetap mengharuskan kandidat untuk memiliki publikasi di jurnal internasional atau menyelesaikan penelitian yang dianggap signifikan. Ini bisa menjadi tantangan besar bagi kandidat yang tidak fokus penuh pada studi mereka.
    • Potensi Penyalahgunaan: Meskipun memiliki potensi untuk menghasilkan doktor yang sangat kompeten, jalur riset bisa disalahgunakan oleh mereka yang ingin "mempercepat" proses studi tanpa memenuhi semua aspek kualitas yang diharapkan. Ini yang sering menimbulkan pertanyaan, terutama ketika kandidat tersebut memiliki posisi publik atau koneksi.

Kasus Serupa: Praktik yang Berulang

Fenomena seperti ini bukan hal baru, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Beberapa tokoh ternama lainnya juga pernah mendapat sorotan publik terkait kecepatan atau kemudahan dalam meraih gelar akademik, terutama karena posisi mereka sebagai pejabat atau figur berpengaruh. Beberapa contoh kasus serupa antara lain:

  1. Sandiaga Uno - Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada tahun 2018, Sandiaga menyelesaikan program S3 di bidang ekonomi dalam waktu yang relatif singkat, mengundang tanda tanya publik mengingat kesibukannya di dunia politik. Meski demikian, tidak ada temuan ketidakberesan, tetapi muncul kritik mengenai sistem pendidikan yang tampaknya lebih longgar untuk figur publik.

  2. Gilang Widya Pramana (Juragan 99) - Pengusaha terkenal yang juga mendapat gelar doktor honoris causa dari salah satu universitas di Jawa Timur. Meskipun gelar ini merupakan gelar kehormatan, banyak yang mengkritisi bahwa pemberian gelar ini lebih terkait dengan aspek popularitas daripada kontribusi akademik. Fenomena ini mencerminkan masalah yang lebih luas dalam pemberian gelar di Indonesia, di mana koneksi dan kekayaan kadang-kadang bisa menjadi faktor utama.

  3. George W. Bush - Meskipun contoh ini terjadi di Amerika Serikat, penting untuk dicatat bahwa banyak tokoh politik di luar negeri juga mendapat gelar dari universitas ternama, meskipun rekam jejak akademiknya tidak luar biasa. Kasus Bush di Yale, misalnya, sering dibicarakan dalam konteks nepotisme karena afiliasi keluarganya dengan universitas tersebut.

  4. Megawati Soekarnoputri - Pemberian gelar doktor honoris causa kepada Megawati di beberapa universitas di Indonesia juga pernah menuai kritik, di mana banyak pihak memandang bahwa proses tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada kontribusi akademik yang signifikan, tetapi lebih pada status sosial dan politiknya. Gelar kehormatan ini sering kali menjadi isu yang diperdebatkan, apakah benar-benar mencerminkan penghargaan akademik atau lebih ke arah pencitraan.

Kesimpulan

Sidang S3 Bahlil telah membuka mata banyak pihak tentang perlunya perbaikan integritas di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Jika institusi pendidikan ingin tetap dihormati dan dijadikan rujukan oleh masyarakat, maka mereka harus membuktikan bahwa proses pendidikan dan pemberian gelar akademik dilakukan secara transparan, adil, dan profesional.

Dalam hal ini, integritas akademik adalah hal yang tidak bisa dinegosiasikan, karena menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri.

Semoga ke depannya, kasus-kasus serupa bisa dicegah melalui sistem yang lebih baik, transparan, dan tidak memihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun