Penting bagi lembaga pendidikan untuk menunjukkan transparansi dalam setiap tahapan proses akademik, terutama dalam hal penerimaan, pengujian, hingga kelulusan mahasiswa pascasarjana. Ini penting agar tidak ada kesan bahwa gelar akademik dapat diperoleh dengan mudah tanpa memenuhi standar akademik yang seharusnya.
Komparasi antara Program S3 Reguler dan Jalur Riset, cepat mana?
Berdalih cepatnya studi Bahlil karena ia menempuh S3 Jalur Riset, mari kita kaji komparasi antara jalur Riset dan Reguler. Dalam memahami perbedaan proses yang dilalui oleh kandidat S3, penting untuk mengulas dua jalur utama dalam program doktoral di Indonesia: S3 Reguler dan S3 Jalur Riset.
Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, dan ketidaksamaan inilah yang kadang-kadang menimbulkan persepsi bahwa ada "jalur cepat" yang bisa dimanfaatkan oleh kalangan tertentu.
Program S3 Reguler:
- Kurikulum Terstruktur: Mahasiswa wajib mengikuti sejumlah mata kuliah wajib yang bertujuan untuk memperkuat dasar teori dan metodologi penelitian. Biasanya, ini mencakup perkuliahan selama 1-2 semester pertama.
- Waktu Studi Lebih Panjang: Karena harus mengikuti perkuliahan, menyusun proposal, dan baru bisa memulai penelitian, durasi program ini cenderung lebih panjang (3-5 tahun).
- Proses Evaluasi Ketat: Mahasiswa harus melewati beberapa tahapan evaluasi, termasuk ujian proposal, seminar hasil, dan sidang tertutup sebelum akhirnya mengikuti sidang terbuka. Ini bertujuan untuk memastikan kualitas penelitian dan kesiapan mahasiswa.
- Publikasi Ilmiah: Syarat kelulusan melibatkan publikasi di jurnal bereputasi, yang harus melalui proses peer-review yang sering memakan waktu lama.
Program S3 Jalur Riset:
- Fokus pada Penelitian: Program ini didesain untuk kandidat yang sudah memiliki latar belakang riset kuat, misalnya sudah terlibat dalam penelitian besar atau memiliki karya ilmiah yang diakui. Karena itu, mereka dapat langsung memulai penelitian tanpa harus melalui perkuliahan yang intensif.
- Waktu Studi Bisa Lebih Singkat: Karena tidak ada kewajiban mengikuti kuliah, kandidat bisa menyelesaikan program lebih cepat jika penelitian dan publikasi mereka sudah matang. Jalur ini sering kali dimanfaatkan oleh profesional yang ingin mendapatkan gelar doktor sambil tetap bekerja penuh waktu.
- Persyaratan Riset Lebih Ketat: Meskipun waktunya lebih singkat, jalur riset tetap mengharuskan kandidat untuk memiliki publikasi di jurnal internasional atau menyelesaikan penelitian yang dianggap signifikan. Ini bisa menjadi tantangan besar bagi kandidat yang tidak fokus penuh pada studi mereka.
- Potensi Penyalahgunaan: Meskipun memiliki potensi untuk menghasilkan doktor yang sangat kompeten, jalur riset bisa disalahgunakan oleh mereka yang ingin "mempercepat" proses studi tanpa memenuhi semua aspek kualitas yang diharapkan. Ini yang sering menimbulkan pertanyaan, terutama ketika kandidat tersebut memiliki posisi publik atau koneksi.
Kasus Serupa: Praktik yang Berulang
Fenomena seperti ini bukan hal baru, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Beberapa tokoh ternama lainnya juga pernah mendapat sorotan publik terkait kecepatan atau kemudahan dalam meraih gelar akademik, terutama karena posisi mereka sebagai pejabat atau figur berpengaruh. Beberapa contoh kasus serupa antara lain:
Sandiaga Uno - Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada tahun 2018, Sandiaga menyelesaikan program S3 di bidang ekonomi dalam waktu yang relatif singkat, mengundang tanda tanya publik mengingat kesibukannya di dunia politik. Meski demikian, tidak ada temuan ketidakberesan, tetapi muncul kritik mengenai sistem pendidikan yang tampaknya lebih longgar untuk figur publik.
Gilang Widya Pramana (Juragan 99) - Pengusaha terkenal yang juga mendapat gelar doktor honoris causa dari salah satu universitas di Jawa Timur. Meskipun gelar ini merupakan gelar kehormatan, banyak yang mengkritisi bahwa pemberian gelar ini lebih terkait dengan aspek popularitas daripada kontribusi akademik. Fenomena ini mencerminkan masalah yang lebih luas dalam pemberian gelar di Indonesia, di mana koneksi dan kekayaan kadang-kadang bisa menjadi faktor utama.
George W. Bush - Meskipun contoh ini terjadi di Amerika Serikat, penting untuk dicatat bahwa banyak tokoh politik di luar negeri juga mendapat gelar dari universitas ternama, meskipun rekam jejak akademiknya tidak luar biasa. Kasus Bush di Yale, misalnya, sering dibicarakan dalam konteks nepotisme karena afiliasi keluarganya dengan universitas tersebut.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!