Dewan Pers mengkritisi beberapa ketentuan dalam RUU KUHP yang dianggap bertentangan dengan semangat reformasi dan dapat mengancam demokratisasi di Indonesia. Mereka khawatir dengan kemajuan sistem yang lebih terbuka dan demokratis selama tujuh tahun terakhir bisa terhambat jika RUU ini disahkan tanpa kajian kritis.
Menurut Dewan Pers, RUU KUHP terlalu berpihak pada kekuasaan negara dan memberikan yang ruang berlebih bagi pemerintah untuk mengintervensi ranah publik. Beberapa pasal berpotensi membatasi hak masyarakat untuk berpendapat, berekspresi, dan berkomunikasi, yang bertentangan dengan Amandemen UUD 1945 dan TAP MPR Tentang HAM.
Dewan Pers mencatat bahwa paradigma RUU KUHP masih bernuansa kolonial, otoriter, dan anti-demokrasi. Ini terlihat dari pasal-pasal terkait penyebaran komunisme, pembocoran rahasia negara, penghinaan, penghasutan, berita bohong, pornografi, pencemaran, dan fitnah. Setidaknya 49 pasal dianggap mengadopsi pasal-pasal kolonial dan UU Subversi yang sudah dicabut.
Upaya kodifikasi dan unifikasi dalam RUU KUHP juga dikritik karena dianggap tidak sesuai dengan dinamika sosial-politik dan kemajuan teknologi. Keberagaman masyarakat Indonesia sulit diatur dalam sistem hukum pidana yang seragam. RUU ini juga lebih menekankan pada hukuman daripada perbaikan, berbeda dengan tren hukum internasional.
Sehingga dalam konteks kebebasan pers, RUU KUHP dianggap mengancam karena mempertahankan pasal-pasal warisan kolonial dan menerapkan delik formal. Hal ini bisa berdampak pada penghukuman wartawan kritis dan pembatasan kebebasan berekspresi masyarakat luas.
Ketentuan pencabutan hak menjalankan profesi oleh negara juga dikritik. Dewan Pers berpendapat bahwa pencabutan profesi seharusnya menjadi wewenang organisasi profesi, bukan negara.
Dengan adanya ransformasi Indonesia menuju sistem bernegara yang lebih demokratis telah membawa perubahan signifikan bagi kehidupan rakyat. Kebebasan pers telah dijamin dalam UUD 1945 yang diamandemen, namun insan pers tetap harus tunduk pada hukum yang berlaku, sesuai asas persamaan di hadapan hukum.
Undang-undang tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan pers, melainkan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional. Mengingat belum seluruh pers Indonesia menerapkan kualitas yang profesional dan bertanggung jawab, diperlukan pembatasan melalui regulasi hukum.
Masalah muncul ketika pemberitaan pers digunakan untuk memfitnah atau menghina dengan unsur kesengajaan. Pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang sengaja melakukan penghinaan atau fitnah melalui media pers, namun pemberitaan yang bertanggung jawab dan profesional, meski ada kesalahan fakta, tidak boleh dipidana.
UU Pers belum sepenuhnya mengakomodasi permasalahan ini, hanya mengatur sanksi denda dan hak jawab saja. RUU KUHP baru mengatur lebih detail tentang tindak pidana penghinaan dan fitnah dalam pemberitaan pers, termasuk unsur-unsur tindak pidana dan pembuktiannya.
RUU KUHP juga memberikan perlindungan bagi kebebasan pers dengan memberikan kesempatan pembuktian kebenaran tuduhan. Namun, adanya kritikan terhadap RUU KUHP, terutama terkait pembuktian yang tergantung keputusan hakim dan efisiensi persidangan.
Kebebasan pers harus dijaga namun harus diimbangi dengan profesionalisme dan tanggung jawab. Sehingga hukum berperan menciptakan keseimbangan antara demokrasi, kebebasan, dan tanggung jawab. Pers tidak kebal hukum, akan tetapi kebebasan pers tidak terancam karena bukan merupakan kejahatan.
Proses transformasi Indonesia mengalami benturan antara nilai-nilai lama dan baru, terkadang memicu masalah sosial dan hukum. Namun, tantangan ini dianggap sebagai bagian alami dari perkembangan sistem bernegara menuju kondisi yang lebih baik.
Dunia pers Indonesia kini berada di persimpangan, menghadapi dilema antara menganut kebebasan pers mutlak seperti negara-negara Barat atau tetap beroperasi dalam batasan hukum pidana.Â
Kasus Tempo melawan Tommy Winata baru-baru ini menimbulkan guncangan, di mana wartawan dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik.
Kejadian ini memunculkan pertanyaan krusial: Apakah wartawan dapat dikenai sanksi pidana saat menjalankan profesinya? Atau seharusnya pers diberi jaminan kebebasan penuh, agar terbebas dari ancaman hukum pidana dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya? Dilema ini menjadi isu sentral dalam perdebatan tentang masa depan kebebasan pers di Indonesia.
Kebebasan pers merupakan elemen vital dalam membangun sistem bernegara yang demokratis, terbuka, dan transparan. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers harus dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi jurnalistik untuk menjaga objektivitas dan transparansi. Namun, insan pers tetap harus tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia, sesuai asas persamaan di hadapan hukum yang diatur dalam UUD 1945.
Undang-undang tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan pers, melainkan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan, dan profesional. Mengingat belum seluruh pers Indonesia menerapkan kualitas yang profesional dan bertanggung jawab, serta mempertimbangkan kondisi pendidikan masyarakat, diperlukan pembatasan melalui regulasi hukum untuk mencegah penyalahgunaan media sebagai alat agitasi.
Permasalahan muncul ketika pemberitaan pers digunakan untuk memfitnah atau menghina dengan unsur kesengajaan. Pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang sengaja melakukan penghinaan atau fitnah melalui media pers. Namun, pemberitaan yang bertanggung jawab dan profesional, meski ada kesalahan fakta, tidak boleh dipidana.
Sehingga Undang-Undang Pers belum sepenuhnya mengakomodasi permasalahan ini. Undang-undang tersebut hanya mengatur sanksi denda untuk pelanggaran tertentu dan hak jawab serta hak koreksi untuk pemberitaan bermasalah. Hal ini dianggap kurang seimbang oleh beberapa pihak. Namun, yang perlu diperbaiki adalah UU Pers itu sendiri, bukan pers sebagai institusi, karena undang-undang tersebut belum mengatur potensi masalah hukum kompleks yang dapat muncul dalam pemberitaan pers.
Kebebasan pers dalam menyampaikan pendapat ialah aspek krusial dalam proses demokratisasi.Â
Namun, kebebasan ini tidak bersifat absolut dan tanpa batasan. Untuk mencegah penyalahgunaan pers sebagai sarana penghinaan, fitnah, atau penghasutan, diperlukan instrumen hukum yang bertujuan bukan untuk membatasi kebebasan pers, melainkan untuk mendorong profesionalisme, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap hukum serta HAM.
RUU KUHP terbaru, khususnya Pasal 511 hingga 515, telah mengakomodasi isu penghinaan dan fitnah yang mungkin terjadi dalam pemberitaan pers. Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP secara jelas mendefinisikan kriteria tindak pidana penghinaan, mencakup unsur-unsur: setiap individu, secara lisan, menghina atau menyerang kehormatan atau reputasi orang lain, dengan menuduhkan sesuatu, bertujuan agar tuduhan tersebut diketahui publik.
Sementara itu, Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP mengatur tindak pidana yang dilakukan secara tertulis, sebagai pemberatan dari Ayat (1). Pemberatan ini berlaku jika penghinaan dilakukan melalui tulisan atau gambar yang disebarluaskan, dipertontonkan, atau dipajang di tempat umum. Dengan demikian, penghinaan melalui pemberitaan pers dapat masuk dalam kategori ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H