Kasus Tempo melawan Tommy Winata baru-baru ini menimbulkan guncangan, di mana wartawan dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik.
Kejadian ini memunculkan pertanyaan krusial: Apakah wartawan dapat dikenai sanksi pidana saat menjalankan profesinya? Atau seharusnya pers diberi jaminan kebebasan penuh, agar terbebas dari ancaman hukum pidana dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya? Dilema ini menjadi isu sentral dalam perdebatan tentang masa depan kebebasan pers di Indonesia.
Kebebasan pers merupakan elemen vital dalam membangun sistem bernegara yang demokratis, terbuka, dan transparan. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers harus dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi jurnalistik untuk menjaga objektivitas dan transparansi. Namun, insan pers tetap harus tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia, sesuai asas persamaan di hadapan hukum yang diatur dalam UUD 1945.
Undang-undang tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan pers, melainkan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan, dan profesional. Mengingat belum seluruh pers Indonesia menerapkan kualitas yang profesional dan bertanggung jawab, serta mempertimbangkan kondisi pendidikan masyarakat, diperlukan pembatasan melalui regulasi hukum untuk mencegah penyalahgunaan media sebagai alat agitasi.
Permasalahan muncul ketika pemberitaan pers digunakan untuk memfitnah atau menghina dengan unsur kesengajaan. Pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang sengaja melakukan penghinaan atau fitnah melalui media pers. Namun, pemberitaan yang bertanggung jawab dan profesional, meski ada kesalahan fakta, tidak boleh dipidana.
Sehingga Undang-Undang Pers belum sepenuhnya mengakomodasi permasalahan ini. Undang-undang tersebut hanya mengatur sanksi denda untuk pelanggaran tertentu dan hak jawab serta hak koreksi untuk pemberitaan bermasalah. Hal ini dianggap kurang seimbang oleh beberapa pihak. Namun, yang perlu diperbaiki adalah UU Pers itu sendiri, bukan pers sebagai institusi, karena undang-undang tersebut belum mengatur potensi masalah hukum kompleks yang dapat muncul dalam pemberitaan pers.
Kebebasan pers dalam menyampaikan pendapat ialah aspek krusial dalam proses demokratisasi.Â
Namun, kebebasan ini tidak bersifat absolut dan tanpa batasan. Untuk mencegah penyalahgunaan pers sebagai sarana penghinaan, fitnah, atau penghasutan, diperlukan instrumen hukum yang bertujuan bukan untuk membatasi kebebasan pers, melainkan untuk mendorong profesionalisme, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap hukum serta HAM.
RUU KUHP terbaru, khususnya Pasal 511 hingga 515, telah mengakomodasi isu penghinaan dan fitnah yang mungkin terjadi dalam pemberitaan pers. Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP secara jelas mendefinisikan kriteria tindak pidana penghinaan, mencakup unsur-unsur: setiap individu, secara lisan, menghina atau menyerang kehormatan atau reputasi orang lain, dengan menuduhkan sesuatu, bertujuan agar tuduhan tersebut diketahui publik.
Sementara itu, Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP mengatur tindak pidana yang dilakukan secara tertulis, sebagai pemberatan dari Ayat (1). Pemberatan ini berlaku jika penghinaan dilakukan melalui tulisan atau gambar yang disebarluaskan, dipertontonkan, atau dipajang di tempat umum. Dengan demikian, penghinaan melalui pemberitaan pers dapat masuk dalam kategori ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H