Dulu dia hanya ingin menaklukkan gadis yang superpendiam itu. Dulu dia hanya ingin bersenang-senang. Pacaran itu bersenang-senang, kan? Sekarang dia terjebak bersamanya. Coba saja mereka tidak pernah pacaran, pemandangan laknat tadi tidak perlu dilihatnya.
"Jangan ceritakan pada siapa pun." Begitu kalimat pertamanya sebelum mobil berhenti untuk mengisi bensin.
"Kenapa?"
"Kau gila? Kita bakal dituduh pembunuh!"
"Tapi ..."
"Belilah makanan," potongnya, "yang banyak. Kita harus ke luar kota."
Sang gadis tampak ingin membantah, tetapi urung. Tanpa banyak bicara dia pergi ke minimarket.
Saat melanjutkan perjalanan, tak ada percakapan maupun musik. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Si pria tanggung semakin menyesal telah memacari gadis di sampingnya. Pergi berdua lebih menyulitkan. Dia tak mungkin membunuh pacarnya dan meninggalkan lebih banyak jejak. Dia juga tahu, dia tak ingin bertanggung jawab atas gadis itu.Â
Hari sudah pagi ketika mereka tiba di kota kecil berikutnya. Lagi-lagi mereka berhenti di pom bensin, menumpang kencing. Ketika dia kembali dari toilet, si gadis belum kelihatan. Perempuan selalu lama. Gadis ini pun selalu lama di toilet. Selama ini dia pura-pura saja sabar menunggu. Sekarang tidak. Dia menyalakan mobil. Jarinya sibuk mengetuk setir. Tak tahan, dia keluar menuju toilet perempuan. "Rin! Masih lama?"
"Tunggu."
Dengan kesal dia kembali ke mobil. Satu menit. Dia bersumpah menunggu semenit. Dia tak tahu kalau pacarnya saat itu sedang menelepon ibunya. Namun, semacam dorongan liar membuatnya mengambil keputusan. Dia tidak akan menunggu lagi.Â
Mobilnya perlahan-lahan meninggalkan pom bensin.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H