Dia lupa pada rokoknya. Matanya tajam mengawasi bukit. Pasti ribuan kunang-kunang, pikirnya, tetapi sejak kapan? Tiga tahun yang lalu dia pindah ke apartemen ini dan sejak saat itu pula dia merokok di balkon. Tak pernah kunang-kunang terlihat di bukit yang entah berapa kilo jaraknya.
Dia menatap langit malam, mengingat masa kecilnya di kampung. Kapan musim kunang-kunang? Dia tak ingat lagi. Sudah lama sekali. Hampir dua puluh lima tahun yang lalu.
Dulu dia mencemooh orang-orang yang tak bisa mengingat masa lalu atau pelajaran sejarah. Sekarang dia mengerti. Kehidupan mengambil alih ingatan. Kita membuang ingatan yang telah karatan dan memberi ruang pada memori-memori baru.
Pintu dibuka. Istrinya menyembulkan kepala. "Masih lama?"
Dia balas bertanya tanpa mengalihkan kepalanya dari bukit, "Apa kita pernah lihat kunang-kunang di kota ini?"
Istrinya mengernyit. "Tidak. Seingatku, tidak."
"Tidurlah. Sebentar lagi rokokku habis." Kali ini dia menoleh, menatap istrinya.Â
Sepuluh tahun menikah, rasanya tak ada yang berubah pada tubuh perempuan itu. Sifatnya pun tidak. Dia masih senang menonton film horor dan tak bisa memasak. Setiap pagi sang istri masih cerewet mengingatkan ini dan itu, seringkali membuatnya begah.
Bercerai. Kedengaran saru, tetapi pikiran itu telah melintas beberapa kali dalam pikirannya. Dia merasa ruang geraknya menyempit. Itu sebabnya--
Handphone bergetar di saku celana. Dia seperti tersirap ke dunia nyata, merogoh dan tergopoh mendekatkan benda itu ke telinga. Sebelum bicara, dia mengisap rokoknya yang tinggal secuil dalam-dalam. "Jangan sekarang."
"Kenapa? Kau sibuk apa?" tanya suara di seberang.
"Kau tahu kenapa."
Mereka diam sejenak.
"Kau bisa melihat kunang-kunang di bukit?" Si pria melanjutkan.
Perempuan itu mengernyit. Apartemen mereka hanya berjarak tiga blok. Dia bisa melihat bukit yang sama. Dia berjalan ke jendela, lalu menyibak tirai.Â
3. TIRAI
Perempuan itu mengernyit, melirik ke arah suaminya yang duduk menunggu di ruang keluarga. Dengan handphone masih di telinga dia  berjalan ke jendela ruang makan, lalu menyibak tirai. Dari sini dia  bisa melihat bukit yang sama, hanya saja terhalang apartemen lain. Padahal tempat ini hanya berjarak tiga blok dari kakaknya yang masih menunggu jawaban.
"Aku tak melihat apa-apa."
Kakaknya mendesah pelan, lalu berkata, "Aku tidur dulu."
Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tahu waktunya tidak tepat.
"Bagaimana?" Suaminya bertanya. Rautnya cemas. Dia menggeleng.