Sudah lama aku ingin pohon bugenvil itu ditebang. Selain sudah tua, seringkali mengotori dan menghalangi pandangan. Pohon ini sudah seumur hidupku ada. Bahkan, sudah ada sejak Ibu lahir. Jadi, mungkin saja pohon ini sudah ada sebelum rumah ini dibeli Kakek.
Sekarang aku yang akan tinggal di sini. Setelah bertahun-tahun mengumpulkan uang, proyek renovasi harus berjalan. Rumah tua ini akan dibongkar hampir seluruhnya karena aku ingin rumah bergaya minimalis. Aku juga ingin memperbesarnya. Pohon itu harus ditebang agar ruang-ruang tambahan bisa dibangun.
Untuk itulah hari ini aku memanggil tukang. Pohon itu harus ditebang hari ini juga. Meski bukan orang yang sentimentil, kuakui banyak juga kenangan dengan pohon itu. Waktu aku kecil, pohon itu digantungi ayunan. Setelah dewasa tak ada lagi yang bermain di situ. Ibu membeli kursi dan meja kayu. Kadang dia sarapan di situ. Namun, pada akhirnya terbengkalai juga. Akhirnya, tak ada apa-apa selain beberapa pot kembang yang juga tak terurus.
Sewaktu kecil, Kakek sering bercerita kepadaku tentang pohon ini. Katanya ada peri-peri yang tinggal dan menjaga pohon itu. Itu sebabnya tanahnya harus dijaga tetap gembur. Pohon itu banyak menyimpan rahasia, kata Kakek. Tiap kali kutanya apa, dia hanya menjawab dengan meletakkan telunjuk di bibir. Aku tentu penasaran dengan peri-peri dan rahasianya. Namun, semakin aku besar, kusadari semua itu cerita belaka.
Nenek lebih dulu meninggal. Kakek meninggal ketika aku berusia sebelas tahun. Kenanganku tentang Kakek tidak terlalu banyak yang tertinggal. Mungkin karena sekarang aku hampir setengah abad. Aku ingat sejak Nenek tiada, Kakek rajin melukis. Ini bakat yang tak pernah dia ceritakan. Saat melukis, kadang dia bertanya tentang warna. Kadang, aku merasa Kakek memperlakukanku sebagai balita. Maksudku, pertanyaan soal warna lebih tepat ditanyakan pada anak kecil, kan? Tapi saat itu kujawab saja.
"Maaf, Bu." Tukang tebang menghampiriku. "Ada kotak di bawah pohon."
Aku jelas saja heran. Kotak apa? Aku pun pergi ke taman. Si tukang menunjuk ke sebuah lubang, dekat akar terbesar bugenvil. Kotak itu kotak kaleng kecil. Harta karun peri-peri?
Kuambil kotak itu, tetapi kubiarkan semalaman di ruang kerjaku. Entah mengapa aku tak ingin buru-buru. Penasaran itu bagus. Kukumpulkan rasa penasaran sebelum membukanya. Aku sudah yakin tidak mungkin ada barang berharga di sini. Namun, aku tetap terkejut melihat isinya. Sebuah kacamata, beberapa lembar surat, dan sebuah gelang kulit. Masing-masing berada dalam plastik yang disegel kuat oleh selotip.
+++
"Kamu tidak boleh mendekatinya lagi," kata Erna. "Ini peringatan terakhir!"
"Kenapa? Kenapa Kakak tidak pernah menjelaskan alasannya."
Erna diam beberapa saat. Dia dan Vita saling pandang. "Karena kalau kamu tahu, kamu tidak akan suka. Hanya aku yang mengerti."
"Coba saja."
"Jodi buta warna," katanya dingin. "Puas?"
Jodi buta warna dan Vita tidak pernah menyadarinya. Kini dia paham mengapa Jodi selalu menggambar dengan pensil atau pulpen. Dia kini mengerti mengapa Jodi tidak pernah mau mewarnai sketsanya. Sekarang dia paham mengapa Jodi tampak dingin. Mungkin dia tidak nyaman.
Namun, Vita ingin mendengar langsung dari Jodi. Pertemuan mereka di bawah pohon bugenvil yang sering digambar Jodi, berakhir dengan buruk. Jodi merasa malu dan kesal pada Erna karena tahu rahasianya. Dia juga benci pada Vita yang berani mengungkit masalah itu. Saat itu juga dia memutuskan pertemanannya dengan Vita.Â
Jodi yang sendiri, makin sendirian. Orang tuanya bekerja sampai malam. Sejak kecil Jodi dititip ke sana kemari. Baru setelah dia berusia 15 tahun dia tinggal di rumah sendiri.
Kesepian itu terus membesar ketika di hari ulang tahunnya yang ke-18, orang tuanya tetap pulang terlambat. Dia berteriak marah, "Jodi ini sebenarnya anak siapa, sih? Apa gunanya Jodi tinggal di sini?"
Sulit menenangkannya dalam waktu singkat. Setelah obrolan yang sulit, orang tuanya memberi sebuah bingkisan. "Kami tidak lupa," kata ayahnya.Â
Jodi membuka hadiah itu. Kacamata. Untuk apa? Dia tidak merasa rabun.
"Coba kamu pakai, Jod," kata ibunya.
Setengah mengernyit, Jodi memakainya. Dia memaki dalam hati sampai kepalanya tengadah.
"Jod?" Ibunya hati-hati memanggil.
Jodi masih geming. Awalnya dia merasa dadanya tersirap kemudian dia ketakutan. Jodi terhuyung.
"Pelan-pelan, Jod." Sang ayah menangkap lengannya, membantunya duduk pelan-pelan di sofa.
Jodi mengedarkan tatapannya. Semua terasa cerah dan aneh. Tidak ada yang sama. Inikah warna?
Dia mengerjap beberapa kali sebelum melihat wajah ayah dan ibunya. Mereka sedang menatapnya, menunggu. Jodi mengamati wajah ibunya. Dia kelihatan menarik dengan warna kulit dan bibir yang tak diketahui Jodi. Dia kemudian menoleh, menatap wajah ayahnya. Wajah itu sangat hidup, sangat berbeda dari kesan Jodi selama ini. "Maafkan Jodi." Suaranya serak dan dadanya terasa sakit. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun tak menangis, Jodi tersedu-sedu.
***
Setelah memiliki kacamata itu, hidup Jodi berubah. Dia menikmati keajaiban warna, mempelajari nama-nama mereka, dan menanamnya dalam ingatan. Namun, masalahnya dengan Erna dan Vita belum selesai. Dia memaafkan Erna, meski menolak ketika Erna mengungkapkan rasa cintanya. Dengan Vita, masalahnya lebih ruwet.
"Kamu harus tahu batasan kamu!" teriak Jodi ketika bertengkar dengan Vita.
"Apa salahnya aku tanya?" balas Vita sama kerasnya.
"Kamu selalu mengurusi urusan orang lain!"
"Aku lebih sering mengurus diriku sendiri."
"Oh ya? Anak pemalas kayak kamu memang gak akan sadar diri."
Vita sakit hati. "Kamu yang gak peka lingkungan!"
"Kamu bahkan gak tahu mau jadi apa setelah lulus." Jodi tak menggubris. "Urusanmu cuma fesyen dan drakor! Aku gak akan heran kalau kamu gak akan lulus!"
Itu kata-kata terakhir yang didengar Vita karena dia lari setelah itu. Setelah dipikir-pikir, Jodi tahu betapa jahat kata-katanya. Dia mencoba mengontak Vita, tetapi selalu gagal. Dia meninggalkan pesan, tetapi tak pernah dibaca. Dia mencoba bicara di sekolah, tetapi Vita tak acuh.
Akhirnya Jodi menyerah karena ujian akhir tahun memaksanya untuk fokus belajar. Vita yang masih kelas dua juga sibuk dengan urusannya sendiri. Dia masih kelihatan seperti biasa, masih sering lupa membuat PR, dan tetap membuka majalah fesyen kesukaannya.
Akhir tahun ajaran pun datang. Hari terakhir di sekolah, Jodi menarik paksa Vita. Meski meronta, Jodi tetap menyeretnya ke taman. Pohon bugenvil yang sering digambar Jodi masih berdiri di sana. Kali ini sedang bersemi. Rimbun dengan mekar bunganya.
"Mau apa, sih? Lepaskan!"Â
Dan kali ini perintah itu dilakukan Jodi. Dia melepas lengan Vita. Mereka saling tatap untuk beberapa saat.Â
"Aku ... minta maaf." Jodi buka suara.
Vita membuang muka.Â
"Dan selamat tinggal."
Vita tercekat dengan kata-kata itu. Namun, dia segera sadar Jodi tidak gertak sambal. Dia diterima di sebuah universitas di luar kota. Artinya .... "Kapan kamu pergi?"
"Segera. Setelah semua urusan di sini selesai. Vit, aku---"
"Aku juga minta maaf." Vita memotong. "Aku juga minta maaf. Kamu benar. Seharusnya aku tidak bertanya." Suaranya gemetar.
"Hei, hei, jangan nangis."
"Dan kamu benar. Aku terlalu santai. Aku jadi memikirkan kata-katamu. Setelah itu aku sibuk mencari tahu apa yang bisa kulakukan di masa depan."
"Pencarian yang sulit?"
Vita mengangguk, tersenyum. "Sampai akhirnya aku memutuskan untuk belajar menjahit."
Jodi tertawa. "Itu cocok untukmu."
Mereka saling diam sejenak.
"Vit." Jodi melepas gelang kulit yang sudah bersamanya bertahun-tahun. "Aku titip ini."
"Hah?"
"Kalau kamu lulus, kita akan ketemu lagi."
Angin meniup pohon bugenvil, mengguncang bunga-bunganya, dan beberapa hali kelopak jatuh ke tanah.
***
Membaca surat dari dalam kaleng, kini aku mengerti. Kucoba mengingat, tetapi rasanya Ibu tidak pernah bercerita apa-apa soal ini. Kakek juga tidak. Namun, tak jadi soal. Aku akan menyimpan barang-barang ini. Setidaknya kini aku paham kenapa Kakek senang bertanya soal warna dan aku ingat, baju-bajuku dulu dibuatkan Nenek. Ibu melanjutkan rumah mode Nenek, tetapi usaha itu kemudian dilanjutkan oleh keponakanku. Aku memang tak berbakat di bidang seni dan lebih suka dengan pekerjaanku sekarang.Â
Dan pohon itu?
Pohon itu telah ditebang begitu kotak itu kuselamatkan. Aku tidak menyesalinya. Lebih penting bagiku untuk memiliki ruang-ruang baru. Tak sabar rasanya ingin tinggal di sini, tetapi aku harus menunggu setahun.
***SELESAI***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H